Lorman Tua Girsang dan Bernike Ida Manurung

          Jika ada pasangan yang paling romantis sedunia, aku bisa katakan itu adalah kedua orangtuaku. Mungkin mereka memang sudah berjodoh. Di takdirkan Tuhan untuk selalu bersama. Dari mulai kelahiran dan kematian. Mereka selalu bersama dan saling menunggu. Mereka pasangan yang benar-benar pasangan.

Bapakku, dalam berbagai kesempatan dan moment

          Lorman Tua Girsang, Bapakku. Lahir dengan bakat musik dan humorisnya. Semua orang yang dekat dengannya pasti merasa terhibur. Parasnya tidak bisa dikatakan biasa saja. Dia menjadi salah satu idola di lingkungannya pada saat itu. Selain itu, dia juga ahli olah raga. Mungkin karena kebiasaan merokoknya, dia tidak terlalu kuat untuk melakukan aktivitas olah raga berlama-lama.
          Selain punya paras yang tampan, dia juga mempunyai jiwa yang bertanggungjawab. Pada saat usianya belasan tahun (mungkin sekitar 17-18 tahun), Bapaknya dipanggil Tuhan. Dia mempunyai adik 6 lagi. Mau tidak mau, beban keluarga dia tanggung bersama Ibunya. Karena didalam keluarga Batak, lelaki adalah penanggung jawab keluarga. Pada saat itu, dia  adalah satu-satunya anak laki-laki yang tidak pergi merantau. Alhasil, dia harus ikut banting tulang untuk menghidupi keluarga.
          Keluarga D.P Girsang bukan berasal dari keluarga tidak mampu. Tapi yang namanya pengusaha, kadang mengalami pasang surut dalam bisnisnya. Itu juga yang dialami Bapak saya pasca Bapaknya meninggal.

Arni dan Mama, disaat-saat terakhirnya


          Bernike Ida Manurung, Mamaku. Bisa dikatakan dia adalah “kembang desa”. Parasnya yang cantik, tinggi dan dengan lesung pipi menghiasi wajahnya, banyak kaum adam yang tertarik padanya. Ditambah dengan latar belakang keluarga yang berada.
          Mamaku termasuk orang yang cepat bergaul dengan siapa saja. Dia juga pintar bernyanyi. Pada saat muda, termasuk modis dalam berpakaian dibandingkan teman-teman sebayanya. Dia termasuk yang humoris, selalu menyukai hal-hal yang dapat menghibur diri.
          Kenapa aku katakan mereka berjodoh? Untuk tanggal kelahiran, mereka sangat dekat jaraknya. Bapak, 15 Desember 1959 dan Mama 31 Januari 1960, mereka dilahirkan di Pematang Siantar, Sumatra Utara. Rumah mereka juga sangat berdekatan. Bedanya hanya 1 gang saja.
          Cinta mereka bersemi saat SMA. Dari cerita yang ku dengar, mereka berpacaran lebih dari 4 tahun. Keduanya adalah tipe pencemburu. Saat Bapak dekat dengan wanita lain, Mama pasti marah. Demikian juga  sebaliknya. Jadilah mereka menghabiskan waktu bersama agar mengurangi kecurigaan satu sama lain.

Keluarga Lorman Tua Girsang dan Bernike Ida Manurung
(atas dari kanan) Yenny, Ardo, Arni, Tere, Gio
(bawah dari kanan) Bapak dan Mama


          Mereka menikah pada tanggal 26 Juni 1981 di GKPS Sudirman. Dikaruniai 6 anak, 4 putri dan 2 putra. Yenny Mastiur Girsang (Yenny), Andi Girsang (Andi), Lihardo Girsang (Ardo), Pahlawarni Girsang (Arni), Theresiani Girsang (Tere) dan Giovanni Girsang (Gio). Namun, sebelum Ardo lahir, Tuhan lebih dahulu memanggil Andi.
Kenapa aku katakan mereka romantis? Dalam setiap rumah tangga, selalu ada pasang surut. Tapi mereka selalu melewati bersama dalam suka dan duka. Bagaimana mereka saling mensuport satu sama lain. Tidak terucap di bibir, tapi lewat perhatian dan pengertian. Aku suka tersenyum kalau ingat betapa mesranya mereka naik vespa berdua jika pergi Gereja.
Salah satu support yang dilakukan adalah, saat Bapak mengambil gelar sarjananya di Padang sekitar tahun 1995-1997. Mama langsung bertindak menjadi tulang punggung Keluarga. Dia menghidupi kami serta mengajari kami banyak hal. Pada saat itu adalah krisis bagi keluarga kami. Kami tidak bisa hidup hanya dari gaji seorang PNS Guru SMA. Biasanya Bapak mencari penghasilan tambahan lain.
Hal yang dilakukan Mama adalah, berjualan kangkung! Setiap hari kita ambil kangkung di ladang. Ambil-Ikat dan hitung hingga 100 ikat. Besoknya Mama akan jual ke pasar. Tapi hal itu dibuat Mama bukan menjadi derita buat kami. Setiap weekend dia buat acara seperti kumpul-kumpul untuk makan bersama, atau mandi di sungai sambil membawa bekal.
Ada hal romantis lain yang sangat kuingat. Saat itu akan ada hajatan, kita masak besar. Mama menitipkan kepada Bapak nasi yang sedang dimasak untuk diperhatikan jangan sampai gosong. Ternyata Bapak lalai. Jadilah sedikit keributan, sampai mama jengkel. Untuk meredam itu, Bapak peluk Mama dan minta maaf. Setelah itu mereka tertawa bersama.
Kenapa aku katakan mereka ditakdirkan untuk selalu bersama? Selain mereka dilahirkan dengan waktu yang berdekatan, mereka juga dipanggil dengan waktu yang berdekatan. Bapak dipanggil Tuhan lebih dahulu, 25 Oktober 2012. Sepertinya Mama tidak mau berpisah terlalu lama dengan Bapak. 7 Maret 2014 pun, dia segera menemui jodohnya. Kali ini, mereka merayakan ulang tahun pernikahan di surga.
          Selamat Ulang Tahun Pernikahan, Mom... Dad... Kalian selalu ada dihatiku.
Miss u, Mom... Dad...

Love u, Mom... Dad... (arni girsang)

Mengunjungi makam orangtua sebelum kembali ke perantauan

Menjadi Diri Sendiri dan Kepemimpinan Perempuan



Tidak banyak tokoh perempuan yang menjadi sorotan media. Namun tidak bisa kita pungkiri, dibalik tokoh (pria) terdapat wanita hebat dibelakangnya. Sebagai contoh, Soekarno Presiden Pertama Indonesia yang cukup disegani didunia, memiliki Ibu Inggit Garnasih. Tidak banyak yang mengenal Ibu Inggit, karena Indonesia lebih mengenal Ibu Fatmawati sebagai Ibu Negara (Istri Soekarno saat Indonesia merdeka). Namun, jika kita melihat kebelakang, peran serta Ibu Inggit dalam perjuangan Soekarno sangat besar. Sekitar 20 tahun Ibu Inggit menemani Soekarno didalam masa sukarnya. Pada saat Soekarno ditahan ataupun berpindah tugas. Bahkan Ibu Inggit turut mencari nafkah untuk menutupi kebutuhan. Ibu inggit bukan hanya sebagai Istri, namun juga sebagai Ibu dan Sahabat bagi Soekarno.
Namun ada perempuan yang juga berpengaruh di dunia maupun di media. Walaupun mereka bukan seorang pemimpin, namun mereka bisa dikatakan sebagai seorang yang dapat melakukan perubahan. Misalkan saja Putri Diana dan Bunda Teresa. Yang mereka lakukan dengan melakukan suatu perubahan menerbarkan kasih dengan tindakan nyata, bukan hanya sekedar berkampanye ataupun berteori.
Berbicara mengenai kepemimpinan dalam tataran negara, maka kita akan berbicara mengenai politik dan juga power. Harold Laswell mendefinisikan politik sebagai who gets what, how, and when. Dari pendefinisian ini, dapat dilihat bahwa politik adalah area yang maskulin karena menyangkut adanya strategi untuk mengejar serangkaian hal ambisius. Sementara untuk mewujudkan ambisi tersebut, maka seorang aktor politik dituntut untuk memiliki power. Mengacu pada Robert Dahl, power dapat dijelaskan sebagai kemampuan yang dimiliki oleh aktor politik dimana dia sanggup memaksa pihak lawan untuk melakukan hal yang tidak disukai oleh lawan tersebut, namun menguntungkan bagi si aktor politik. “The ability of A to get B to do something that B would not otherwise do”.
Dari sini dapat dilihat adanya relasi yang sangat dekat dan saling mendukung antara kepemimpinan, power, dan maskulinitas. Dengan kata lain, untuk dapat memimpin, seorang aktor politik dituntut untuk memiliki power. Sementara power  sendiri merujuk pada sifat-sifat maskulin, seperti ambisius, berani, kuat, dan juga pantang untuk ditundukkan. Mengacu pada konstruksi kepemimpinan yang sangat maskulin ini, lantas dimanakah perempuan, dan dimanakah femininitas.  Bila benar kepemimpinan dan politik adalah area lelaki, lalu bagaimana perempuan bisa mengakses area tersebut. Dengan menjadi maskulin-kah ?
Di samping itu, berkaca pada pengalaman beberapa negara yang pernah dipimpin oleh perempuan, tidak selalu kemudian negara ini menjadi negara yang lebih menjunjung tinggi perdamaian ataupun kemudian menjadi negara yang anti perang. Dalam faktanya tidak demikian. Karena sekali lagi, pemimpin perempuan terjebak dalam dominansi politik tingkat tinggi yang sangat maskulin. Sebut saja kebijakan Margaret Thatcher dalam menyikapi isu perebutan Kepulauan Malvinas, kebijakan Indira Gandhi terhadap Pakistan, lalu kebijakan luar negeri Amerika Serikat dalam Perang Irak yang notabene saat itu Condoleeza Rice menjabat sebagai Menteri Luar Negeri.
Meskipun demikian, kita tidak bisa menampik fakta yang berbeda, bahwa perempuan yang menjadi pemimpin juga bisa menjadi sosok inspiratif yang membawakan gaya kepemimpinan yang berbeda. Gaya kepemimpinan yang feminin, elegan, namun tetap memiliki “power” tersendiri. Sebut saja pemimpin kharismatik Burma Aung San Suu Kyi, mantan presiden Irlandia yang hingga saat ini aktif dalam kampanye perubahan iklim Mary Robinson, dan juga Cristina Fernandez, presiden Argentina yang sangat dicintai rakyatnya, dikenal dekat dengan golongan kecil, dan menjalankan roda pemerintahan yang bersih dan transparan.
Banyak yang menjadikan sosok kelahiran dan kehidupan Kartini sebagai simbol perjuangan wanita Indonesia. Namun kenyataannya wanita baru dapat muncul mengambil peranan strategis kepemimpinan baik dalam keprofesian hingga pemerintahan satu abad setelah kehadiran kartini. Apa yang menyebabkan kaum wanita berhasil menempatkan haknya yang setara dengan kaum pria dalam hal kepemimpinan?
Ada dua faktor pendobrak perubahan kaum wanita Indonesia, pertama adalah adanya pengaruh perubahan paradigma masyarakat dunia akibat dari pergerakan kaum feminis yang memperjuangkan hak kaum wanita di berbagai negara. Keberhasilan gerakan kaum feminis yang muncul dari eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet pada tahun 1785 diselatan Belanda. Pada abad 19 dan awal abad 20 keberhasilan gerakan feminisme mulai diterima masyarakat luas dengan gerakan yang mereka sebut Universal Sisterhood.
Salah satu keberhasilan kaum feminin memasukan filosofinya ialah dengan ditandai banyaknya konvensi internasional khususnya di bidang HAM yang memasukkan isu persamaan hak antara kaum wanita dengan pria serta menolak diskriminasi gender. Dari hal tersebut mau tidak mau suatu negara agar dikatakan sebagai negara yang beradab dan menjungjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan harus ikut meratifikasi berbagai konvensi internasional tersebut, misalnya ICCPR Tahun 1966 (Internastional Covenant on Civil and Political Right) yaitu suatu konvensi internasional dibidang perlindungan hak sipil dan politik.
Adanya dasar perlindungan hukum secara internasional tersebut menyebabkan suatu negara tidak terkecuali Indonesia menyesuaikan Hukum Nasionalnya dengan memasukkan isu perlindungan HAM itu salah satunya tentang non diskriminasi gender.
Lahir dari suku Batak yang dalam berbagai perbincangan atau suatu topik diskusi tentang “Gender” pada budaya Batak, beberapa di antaranya menganggap “wanita” mendapat posisi yang tidak setara dengan “pria”. Saya anak ketiga dari lima bersaudara, dan hanya ada satu pria saja diantara saudara saya. Untuk soal  pendidikan, orangtua memberikan yang terbaik, namun untuk soal pilihan tetap menjadi bahan pertimbangan. Termasuk ketika saya memutuskan untuk kuliah jauh dari orangtua selepas SMA. Orangtua masih beranggapan jika seorang perempuan tidak perlu jauh dari orangtuanya. Berbeda dengan saudara laki-laki saya yang diberikan kebebasan dalam mengambil keputusan.
Dikehidupan pertemanan juga, saya cenderung lebih banyak memiliki teman pria, mungkin karena saya terlihat sedikit maskulin. Namun hal tersebut tidak menjadi kendala buat saya, karena sesekali saya mendapatkan perhatian lebih dari mereka. Kekurangannya adalah, tidak semua kegiatan dan aktivitas mereka saya diikutsertakan, karena mereka masih menganggap saya seorang ‘perempuan’.

Sejenak Hening ; Seharian Tanpa Gadget

20 Juni, hari yang cukup penting buatku. Saat aku pertama kali mengenal orang (yang sekarang hanya tinggal kenangan) yang sangat mengubah hidupku, sekitar 6 tahun lalu. Peristiwa penting itu aku coba refleksikan dengan tidak menggunakan gadget sama sekali. Mengingat bagaimana dulu pentingnya gadget dalam menjalin komunikasi antara kami yang kebetulan berbeda pulau. Bagaimana dulu kami saling rindu dan rindu itu bisa sedikit terobati hanya dengan menelepon, chatting, atau hanya sekedar sms. Pentingnya gadget pada saat itu aku coba balikkan, penting tidak gadget saat ini?
Gadget sangat penting dalam kehidupan sehari-hariku. HP yang dapat mengakses internet pertama sekali yang kupakai adalah Motorola, kemudian NOKIA (lupa tipenya, tapi yang hurufnya ngelingker gitu), ganti ke Sony Ericson, Nokia N82, Blackberry, Nokia, Blackberry dan Tablet. *sebagian besar Hpnya hilang karena ketinggalan. Fungsinya pada saat itu untuk chatting (dulu ada program namanya Mig33) atau buka fb. Namun saat ini fungsinya sudah sangat beragam.
Aturan pertama dalam refleksi ini adalah, tidak ada komunikasi atau sekedar mengintip sosial media. Baik melalui HP, BB, Tablet, maupun melalui internet. Dalam hal ini, saya tidak boleh mengakses sms,telepon, bbm, Line, Whatsapp, Path, Instagram, Twitter, Facebook, dll. Aturan kedua, jika memang penting sekali, silahkan temui orang tersebut secara langsung. Atau minta orang lain yang menghubungi.
                Bangun pagi, tanpa sadar hal yang kupegang pertama sekali adalah HP. Untuk sekedar mengecek bbm yang masuk, isi Timeline di Twitter dan Notification di Facebook. Tapi tidak untuk saat ini,HP dibiarkan dalam kondisi lowbat. Menonton dan mencoba mencari kesibukan agar tidak terfokus dengan gadget. Tapi, masih berasa cukup berat. Apalagi aku punya rutinitas bbmn dengan seseorang yang jauh disana yang sangat spesial, sekedar bertanya kabar atau sharing. Namun kali ini rutinitas itu tidak dapat dilakukan.
                Aku coba mencari kesibukan dengan mengatur Plan untuk pulang ke Bogor naik KRL. Hal biasa yang aku lakukan saat didalam KRL adalah sibuk dengan gadget. Sekedar bbmn atau membaca Timeline dan headline news hari ini. Namun untuk refleksi kali ini, aku mencoba mengamati sekelilingku. Di stasiun, banyak orang yang berlalu lalang dan sebagian besar tidak lepas dari gadgetnya. Ada yang mendengarkan musik lengkap dengan headsetnya, bermain game, berkomunikasi, atau menggunakan media sosial. Tidak berbeda jauh denganku. Didalam KRL juga tidak jauh berbeda, pemandangan orang yang sibuk dengan gadgetnya adalah hal biasa. Hampir kemanapun aku memandang, pasti ada orang yang sibuk dengan gadgetnya. Tapi aku juga melihat banyak aktivitas lain. Ada yang membaca, tidur sambil mangap (suka ketawa kalau liat orang tidur sambil mangap di tempat umum), tidur tapi memakai  masker (aku yakin pasti sambil mangap juga hanya saja ketutup masker), ada yang ngobrol sambil cekikikan, ada yang becanda dengan lawan jenisnya (sepertinya mereka pacaran, buat iri saja...), ada juga yang cuek dengan kondisi sekitarnya dengan asyik ngupil.
Sedikit berbeda jauh memang dengan kondisi saat pertama kali naik KRL. Didalam sangat meriah, ada yang ngamen, jual dagangannya, ga pernah sepi. Dan yang paling kontras perbedaannya adalah, saat semua orang sudah memiliki gadget sendiri di sakunya, sehingga mereka punya ‘dunia’sendiri untuk membunuh rasa bosan saat menunggu KRL sampai tujuan.
                Sampai dirumah, sudah mulai berasa bosan tidak ada megang gadget seharian. Rindu sama Dia, bagaimana kabarnya? Kok bbmnya sama sekali ga ada? (hari sebelumnya memang sudah bilang tidak usah bbm dulu, karena mau nyepi) Bagaimana kabar Twitland? Ada Twitwar ga hari ini? Bagaimana perkembangan Pilpres? Ada perkembangan baru tidak? Bagaimana kabar Konas GMKI? Sudah ada yang bakal berangkat? Bagaimana kabar kawan-kawan yang lain? Semua pertanyaan itu mondar-mandir dikepalaku, ingin melanggar janji, tapi harus komitmen.
                Hingga akhirnya aku berhasil melalui hari ini dengan sukses walaupun tidak penuh (karena rindu tak tertahan, jam 9 malam akhirnya aku menanyakan kabarnya yang ternyata dia juga merindu). Ada beberapa poin penting yang aku ambil dari refleksi yang kubuat ini.
  • Aku tak bisa hidup tanpa gadget
  • Ga bisa mengakses gadget, informasi akan ketinggalan.
  • Gadget membuat semuanya lebih mudah, namun belum tentu indah.
  • Rindu bisa berkurang dengan komunikasi. Dibantu dengan gadget.
  • Dengan gadget kita bisa lebih baik. Namun akan semakin buruk jika kita tidak bisa memanfaatkannya.
  •  Jangan sampai gadget merusak hubungan sosialmu.
  • Gadget yang mahal dan canggih tidak akan berguna jika gadget lebih pintar dari yang punya *otokritik*

  
Demikian ceritaku yang berusaha untuk tidak ketergantungan dengan gadget (walaupun hanya sehari). Mungkin kawan-kawan bisa mencobanya, merasakan apakah gadget itu sangat penting dalam kehidupanmu atau hanya sebagai pelengkap saja.

Sayangku bukan Karena...

Kau bisa menentukan kau Menikah dengan siapa, namun kau tak bisa menentukan kau Jatuh Cinta dengan siapa. Kata Sudjiwo Tejo....

     
Kau tak bisa memaksa perasaanmu atau melarangnya, biarkan saja mengalir dan nikmatin.

               
 Jatuh Cinta tidak bisa kita tentukan dimana, siapa,ataupun kapan dan mengapa?

     
Aku lebih menikmati saat aku mulai menyukai seseorang daripada disukai. Bagaimana kita berusaha menyampaikan rasa yang ada tanpa harus mengharapkan balasan. Itu namanya mengasihi, menurutku...

     
Mengasihi tidak menangis. Mengasihi dengan menikmati, anugrah yang Tuhan kasih dengan rasa yang ada.

     
Mengasihi tidak dengan menyakiti, mengasihi berusaha untuk melengkapi bukan dengan mencaci.

     
Aku sayang dia, itu urusanku. Bagaimana perasaannya terhadapku, itu urusannya juga.


Bagaimana dengan, kita sayang seseorang yang tidak bisa menjadi milik kita?


Bagaimana dengan, kita mengasihi seseorang yang sudah menjadi milik orang lain?


Bagaimana dengan, kita hanya mengasihi tanpa berharap kasih kita dibalas?


Bagaimana dengan, ternyata orang tersebut juga sayang kita?


Sayangku bukan Karena...



REVOLUSI MENTAL



INDONESIA saat ini menghadapi suatu paradoks pelik yang menuntut jawaban dari para pemimpin nasional. Setelah 16 tahun melaksanakan reformasi, kenapa masyarakat kita bertambah resah dan bukannya tambah bahagia, atau dalam istilah anak muda sekarang semakin galau?

Dipimpin bergantian oleh empat presiden antara 1998 dan 2014, mulai dari BJ Habibie, KH Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, hingga Susilo Bambang Yudhoyono, Indonesia telah mencatat sejumlah kemajuan di bidang ekonomi dan politik. Mereka memimpin di bawah bendera reformasi yang didukung oleh pemerintahan yang dipilih rakyat melalui proses yang demokratis.

Ekonomi semakin berkembang dan masyarakat banyak yang bertambah makmur. Bank Dunia bulan Mei ini mengatakan ekonomi Indonesia sudah masuk 10 besar dunia, jauh lebih awal dari perkiraan pemerintah SBY yang memprediksi baru terjadi tahun 2025. Di bidang politik, masyarakat sudah banyak menikmati kebebasan serta hak-haknya dibandingkan sebelumnya, termasuk di antaranya melakukan pergantian pemimpinnya secara periodik melalui pemilu yang demokratis.

Namun, di sisi lain, kita melihat dan merasakan kegalauan masyarakat seperti yang dapat kita saksikan melalui protes di jalan-jalan di kota besar dan kecil dan juga di ruang publik lainnya, termasuk media massa dan media sosial. Gejala apa ini?

Pemimpin nasional dan pemikir di Indonesia bingung menjelaskan fenomena bagaimana keresahan dan kemarahan masyarakat justru merebak. Sementara, oleh dunia, Indonesia dijadikan model keberhasilan reformasi yang menghantarkan kebebasan politik serta demokrasi bersama pembangunan ekonomi bagi masyarakatnya.

Izinkan saya melalui tulisan singkat ini menyampaikan pandangan saya menguraikan permasalahan bangsa ini dan menawarkan paradigma baru untuk bersama mengatasinya. Saya bukan ahli politik atau pembangunan. Untuk itu, pandangan ini banyak berdasarkan pengamatan dan pengalaman saya selama ini, baik sebagai Wali Kota Surakarta maupun Gubernur DKI Jakarta. Oleh karena itu, keterbatasan dalam pandangan ini mohon dimaklumi.

Sebatas kelembagaan

Reformasi yang dilaksanakan di Indonesia sejak tumbangnya rezim Orde Baru Soeharto tahun 1998 baru sebatas melakukan perombakan yang sifatnya institusional. Ia belum menyentuh paradigma, mindset, atau budaya politik kita dalam rangka pembangunan bangsa (nation building). Agar perubahan benar-benar bermakna dan berkesinambungan, dan sesuai dengan cita-cita Proklamasi Indonesia yang merdeka, adil, dan makmur, kita perlu melakukan revolusi mental.

Nation building tidak mungkin maju kalau sekadar mengandalkan perombakan institusional tanpa melakukan perombakan manusianya atau sifat mereka yang menjalankan sistem ini. Sehebat apa pun kelembagaan yang kita ciptakan, selama ia ditangani oleh manusia dengan salah kaprah tidak akan membawa kesejahteraan. Sejarah Indonesia merdeka penuh dengan contoh di mana salah pengelolaan (mismanagement) negara telah membawa bencana besar nasional.

Kita melakukan amandemen atas UUD 1945. Kita membentuk sejumlah komisi independen (termasuk KPK). Kita melaksanakan otonomi daerah. Dan, kita telah banyak memperbaiki sejumlah undang-undang nasional dan daerah. Kita juga sudah melaksanakan pemilu secara berkala di tingkat nasional/daerah. Kesemuanya ditujukan dalam rangka perbaikan pengelolaan negara yang demokratis dan akuntabel.

Namun, di saat yang sama, sejumlah tradisi atau budaya yang tumbuh subur dan berkembang di alam represif Orde Baru masih berlangsung sampai sekarang, mulai dari korupsi, intoleransi terhadap perbedaan, dan sifat kerakusan, sampai sifat ingin menang sendiri, kecenderungan menggunakan kekerasan dalam memecahkan masalah, pelecehan hukum, dan sifat oportunis. Kesemuanya ini masih berlangsung, dan beberapa di antaranya bahkan semakin merajalela, di alam Indonesia yang katanya lebih reformis.

Korupsi menjadi faktor utama yang membawa bangsa ini ke ambang kebangkrutan ekonomi di tahun 1998 sehingga Indonesia harus menerima suntikan dari Dana Moneter Internasional (IMF) yang harus ditebus oleh bangsa ini dengan harga diri kita. Terlepas dari sepak terjang dan kerja keras KPK mengejar koruptor, praktik korupsi sekarang masih berlangsung, malah ada gejala semakin luas.

Demikian juga sifat intoleransi yang tumbuh subur di tengah kebebasan yang dinikmati masyarakat. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi yang pesat malah memacu sifat kerakusan dan keinginan sebagian masyarakat untuk cepat kaya sehingga menghalalkan segala cara, termasuk pelanggaran hukum.

Jelas reformasi, yang hanya menyentuh faktor kelembagaan negara, tidak akan cukup untuk menghantarkan Indonesia ke arah cita-cita bangsa seperti diproklamasikan oleh para pendiri bangsa. Apabila kita gagal melakukan perubahan dan memberantas praktik korupsi, intoleransi, kerakusan, keinginan cepat kaya secara instan, pelecehan hukum, dan sikap oportunis, semua keberhasilan reformasi ini segera lenyap bersama kehancuran bangsa.

Perlu revolusi mental

Dalam pembangunan bangsa, saat ini kita cenderung menerapkan prinsip-prinsip paham liberalisme yang jelas tidak sesuai dan kontradiktif dengan nilai, budaya, dan karakter bangsa Indonesia. Sudah saatnya Indonesia melakukan tindakan korektif, tidak dengan menghentikan proses reformasi yang sudah berjalan, tetapi dengan mencanangkan revolusi mental menciptakan paradigma, budaya politik, dan pendekatan nation building baru yang lebih manusiawi, sesuai dengan budaya Nusantara, bersahaja, dan berkesinambungan.

Penggunaan istilah ”revolusi” tidak berlebihan. Sebab, Indonesia memerlukan suatu terobosan budaya politik untuk memberantas setuntas-tuntasnya segala praktik-praktik yang buruk yang sudah terlalu lama dibiarkan tumbuh kembang sejak zaman Orde Baru sampai sekarang. Revolusi mental beda dengan revolusi fisik karena ia tidak memerlukan pertumpahan darah. Namun, usaha ini tetap memerlukan dukungan moril dan spiritual serta komitmen dalam diri seorang pemimpin—dan selayaknya setiap revolusi—diperlukan pengorbanan oleh masyarakat.

Dalam melaksanakan revolusi mental, kita dapat menggunakan konsep Trisakti yang pernah diutarakan Bung Karno dalam pidatonya tahun 1963 dengan tiga pilarnya, ”Indonesia yang berdaulat secara politik”, ”Indonesia yang mandiri secara ekonomi”, dan ”Indonesia yang berkepribadian secara sosial-budaya”. Terus terang kita banyak mendapat masukan dari diskusi dengan berbagai tokoh nasional tentang relevansi dan kontektualisasi konsep Trisakti Bung Karno ini.

Kedaulatan rakyat sesuai dengan amanat sila keempat Pancasila haruslah ditegakkan di Bumi kita ini. Negara dan pemerintahan yang terpilih melalui pemilihan yang demokratis harus benar-benar bekerja bagi rakyat dan bukan bagi segelintir golongan kecil. Kita harus menciptakan sebuah sistem politik yang akuntabel, bersih dari praktik korupsi dan tindakan intimidasi.

Semaraknya politik uang dalam proses pemilu sedikit banyak memengaruhi kualitas dan integritas dari mereka yang dipilih sebagai wakil rakyat. Kita perlu memperbaiki cara kita merekrut pemain politik, yang lebih mengandalkan keterampilan dan rekam jejak ketimbang kekayaan atau kedekatan mereka dengan pengambil keputusan.

Kita juga memerlukan birokrasi yang bersih, andal, dan kapabel, yang benar-benar bekerja melayani kepentingan rakyat dan mendukung pekerjaan pemerintah yang terpilih. Demikian juga dengan penegakan hukum, yang penting demi menegakkan wibawa pemerintah dan negara, menjadikan Indonesia sebagai negara yang berdasarkan hukum. Tidak kalah pentingnya dalam rangka penegakan kedaulatan politik adalah peran TNI yang kuat dan terlatih untuk menjaga kesatuan dan integritas teritorial Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Di bidang ekonomi, Indonesia harus berusaha melepaskan diri dari ketergantungan yang mendalam pada investasi/modal/bantuan dan teknologi luar negeri dan juga pemenuhan kebutuhan makanan dan bahan pokok lainnya dari impor. Kebijakan ekonomi liberal yang sekadar mengedepankan kekuatan pasar telah menjebak Indonesia sehingga menggantung pada modal asing. Sementara sumber daya alam dikuras oleh perusahaan multinasional bersama para ”komprador” Indonesia-nya.

Reformasi 16 tahun tidak banyak membawa perubahan dalam cara kita mengelola ekonomi. Pemerintah dengan gampang membuka keran impor untuk bahan makanan dan kebutuhan lain. Banyak elite politik kita terjebak menjadi pemburu rente sebagai jalan pintas yang diambil yang tidak memikirkan konsekuensi terhadap petani di Indonesia. Ironis kalau Indonesia dengan kekayaan alamnya masih mengandalkan impor pangan. Indonesia secara ekonomi seharusnya dapat berdiri di atas kaki sendiri, sesuai dengan amanat Trisakti. Ketahanan pangan dan ketahanan energi merupakan dua hal yang sudah tidak dapat ditawar lagi. Indonesia harus segera mengarah ke sana dengan program dan jadwal yang jelas dan terukur. Di luar kedua sektor ini, Indonesia tetap akan mengandalkan kegiatan ekspor dan impor untuk menggerakkan roda ekonomi.

Kita juga perlu meneliti ulang kebijakan investasi luar negeri yang angkanya mencapai tingkat rekor beberapa tahun terakhir ini karena ternyata sebagian besar investasi diarahkan ke sektor ekstraktif yang padat modal, tidak menciptakan banyak lapangan kerja, tetapi mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya.

Pilar ketiga Trisakti adalah membangun kepribadian sosial dan budaya Indonesia. Sifat ke-Indonesia-an semakin pudar karena derasnya tarikan arus globalisasi dan dampak dari revolusi teknologi komunikasi selama 20 tahun terakhir. Indonesia tidak boleh membiarkan bangsanya larut dengan arus budaya yang belum tentu sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa kita.

Sistem pendidikan harus diarahkan untuk membantu membangun identitas bangsa Indonesia yang berbudaya dan beradab, yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral agama yang hidup di negara ini. Akses ke pendidikan dan layanan kesehatan masyarakat yang terprogram, terarah, dan tepat sasaran oleh nagara dapat membantu kita membangun kepribadian sosial dan budaya Indonesia.

Dari mana kita mulai

Kalau bisa disepakati bahwa Indonesia perlu melakukan revolusi mental, pertanyaan berikutnya adalah dari mana kita harus memulainya. Jawabannya dari masing-masing kita sendiri, dimulai dengan lingkungan keluarga dan lingkungan tempat tinggal serta lingkungan kerja dan kemudian meluas menjadi lingkungan kota dan lingkungan negara.

Revolusi mental harus menjadi sebuah gerakan nasional. Usaha kita bersama untuk mengubah nasib Indonesia menjadi bangsa yang benar-benar merdeka, adil, dan makmur. Kita harus berani mengendalikan masa depan bangsa kita sendiri dengan restu Allah SWT. Sebab, sesungguhnya Allah tidak mengubah nasib suatu bangsa kecuali bangsa itu mengubah apa yang ada pada diri mereka.

Saya sudah memulai gerakan ini ketika memimpin Kota Surakarta dan sejak 2012 sebagai Gubernur DKI Jakarta. Sejumlah teman yang sepaham juga sudah memulai gerakan ini di daerahnya masing-masing. Insya Allah, usaha ini dapat berkembang semakin meluas sehingga nanti benar-benar menjadi sebuah gerakan nasional seperti yang diamanatkan oleh Bung Karno, memang revolusi belum selesai. Revolusi Mental Indonesia baru saja dimulai.

JOKO WIDODO
Calon presiden dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan


(Sumber: Kompas cetak)


Dari Siti Oetari sampai Yurike Sanger





"BANYAK suami menilai istrinya bagaikan mutiara. Tetapi sebenarnya, mereka justru merusak dan tidak menghargai kebahagiaan istrinya? Mereka memuliakan istrinya, mereka cintai sebagai barang berharga, mereka anggap 'mutiara', tetapi sebagaimana orang selalu menyimpan mutiara di dalam kotak, demikian pula mereka menyimpan istrinya dalam kurungan atau 'pingitan'. Bukan untuk memperbudaknya, bukan untuk menghinanya, bukan untuk merendahkannya, begitu katanya. Melainkan untuk menjaga, untuk menghormati, untuk memuliakan. Perempuan mereka anggap sebagai Dewi, tetapi selalu mereka jaga, awasi dan selalu 'dibantu' sehingga menjadi insan yang sampai mati justru tidak akan pernah bisa menjadi dewasa"Hal ini dikemukakan Soekarno dalam Sarinah, buku yang secara rinci mengemukakan pandangan Bung Karno terhadap perempuan. Bahwa mereka, adalah bagian mutlak perjuangan kemerdekaan, oleh karena itu peran sertanya sejajar dan sangat dibutuhkan.
Sarinah diterbitkan di Yogyakarta tahun 1947, di tengah perang kemerdekaan. Tetapi yang menarik, buku tersebut sengaja ditulis Bung Karno. Sementara kita tahu, hampir semua karyanya pada umumnya berasal dari transkrip pidato dan jarang yang sengaja dipersiapkan sebagai buku. "Atas permintaan banyak orang, apa yang pernah saya kursuskan, kemudian saya tulis dan saya lengkapi, Sarinah inilah hasilnya," katanya dalam pengantar buku.
Awal tahun 1946, akibat tekanan politis dari Pemerintah Belanda yang tidak menghendaki bekas jajahannya merdeka, Pemerintah Republik terpaksa mengungsi dari Jakarta. Dan di Yogya, setiap dua minggu sekali, Bung Karno menyelenggarakan kursus wanita di ruang belakang Istana Kepresidenan. Bahan-bahan kursus, dengan bantuan Mualliff Nasution, sekretaris pribadinya, dikumpulkan, dilengkapi, dan ditulis ulang oleh Bung Karno, dipersiapkan menjadi buku.
Bahwa judul bukunya demikian, alasannya sederhana. "Saya namakan Sarinah, sebagai tanda terima kasih. Ketika masih kanak-kanak, pengasuh saya bernama Sarinah. Ia mbok saya. Ia membantu Ibu saya, dan dari dia saya telah menerima rasa cinta dan rasa kasih. Dari dia saya menerima pelajaran untuk mencintai orang kecil. Dia sendiri orang kecil, tetapi budinya besar. Semoga Tuhan membalas kebaikannya."
Sarinah hadir dalam kehidupan Bung Karno sejak tinggal di Mojokerto, Jawa Timur, pertengahan tahun 1917. Sebagaimana dikisahkan melalui Sukarno, An Autobiography as Told to Cindy Adams, dia dilahirkan di Surabaya (1901) dengan nama Kusno. Oleh karena sejak kecil sering sakit, sesuai kebiasaan setempat, ayahnya mencari nama baru, Soekarno. "Karena itu, Soekarno menjadi namaku sebenarnya dan satu-satunya. Pernah ada wartawan goblok menulis nama awalku Ahmad. Sungguh menggelikan. Namaku hanya Soekarno. Dan memang, dalam masyarakat kami, tidak luar biasa memakai satu nama.
Di Mojokerto, Bung Karno kecil tinggal bersama ayahnya, seorang guru, Raden Soekemi Sosrodihardjo. Ibunya, Ida Ajoe Njoman Rai, keturunan bangsawan Bali, dan Sukarmini kakak kandungnya yang dua tahun lebih tua. Sesudah beberapa waktu, datang orang kelima, sosok yang disebutnya, "Bagian rumah tangga kami. Dia tidak pernah kawin, tidur dengan kami, makan apa yang kami makan, tetapi tidak mendapat gaji sepeser pun. Dialah yang mengajarku untuk mengenal cinta kasih, tetapi bukan dalam pengertian jasmaniah. Dan mulai mengajarku mencintai rakyat."
Dengan nada plastis yang digemarinya, Bung Karno melukiskan, "Selagi Sarinah memasak di gubuk kecil dekat rumah, aku selalu duduk di sampingnya. Dia kemudian mengatakan, Karno, yang terutama engkau harus mencintai ibumu. Akan tetapi kemudian engkau harus mencintai rakyat jelata. Engkau harus mencintai manusia pada umumnya."
Bung Karno menambahkan, "Sarinah adalah nama biasa. Akan tetapi, Sarinah yang ini bukan wanita biasa. Ia adalah satu kekuasaan yang paling besar dalam hidupku."

Kurang kasih sayang ibu
Sangat menarik mencermati kedekatan Bung Karno dengan ibunya, sebagaimana pernah dipesankan Sarinah. Ternyata, tidak ada buku atau tulisan yang khusus dipersembahkan Bung Karno kepada ibunya. Dalam otobiografinya, namanya hanya sepintas disebutkan, memberikan pangestu sewaktu Bung Karno masih kecil. Selain itu, sebelum tidur, sering menceriterakan kisah kepahlawanan. Dan semasa perang kemerdekaan, menghardik para gerilyawan yang mencoba menghindari pertempuran.
Bagaimana sesungguhnya keakraban Bung Karno dengan ibunya, dan dengan begitu penghargaannya kepada kaum wanita, sempat menumbuhkan beragam analisis. Kita bisa saja berspekulasi, oleh karena terlampau diagungkan, sosok Sarinah mungkin hanya imajiner. Sulit mencari bukti, apakah Sarinah benar-benar ada. Dan jika demikian, apakah memang begitu besar perannya dalam membentuk kepribadian Bung Karno?
Prof . SI Poeradisastra, dalam kata pengantar buku Kuantar ke Gerbang, Kisah Cinta Ibu Inggit dengan Bung Karno (terbit tahun 1981) pernah mempersoalkan masalah ini. Ada foto Bung Karno sedang menjumpai ibunya. Dia berlutut di hadapan wanita tua tersebut dengan sangat khidmat. Tetapi, demikian Poeradisastra, dua hal tetap menjadi pertanyaan.
Pertama, mengapa Ida Ajoe tidak pernah menengok putranya, baik ke Jakarta maupun ketika masih berada di Yogyakarta? Hal tersebut tidak dia lakukan, bahkan juga sesudah tahun 1950, sewaktu kedaulatan Republik Indonesia sudah diakui dunia internasional; ketika suasana mulai tenang dan Bung Karno telah dikukuhkan (lagi) sebagai presiden.
Perjalanan ke Jakarta dilakukan hanya saat suaminya wafat di zaman Jepang. Sedangkan sampai sekitar tahun 1950, sewajarnya ibu ini belum terlalu sepuh untuk tidak sanggup mengunjungi putra dan cucunya yang sudah menetap di Istana Negara, Jakarta. Apa yang sebenarnya terjadi?
Kedua, mengapa sampai ada dua monumen kasih sayang dari Bung Karno kepada Sarinah? Buku tentang perjuangan kaum wanita, dan nama toko serba ada pertama di Indonesia. Tetapi, justru tidak ada kenangan khusus untuk Ida Ajoe Njoman Rai?
Atas dasar dua pertanyaan tersebut, Poeradisastra menarik kesimpulan, "Bung Karno adalah penderita kekurangan kasih sayang ibu, sehingga dia akhirnya malah mengidealkan dan mengidolakan Sarinah, sebagai wanita tua yang sepenuhnya memberikan kasih sayangnya."
Dalam impian, "kehilangan" sebuah kasih sayang mungkin saja bisa dipenuhi dengan cara menampilkan sosok Sarinah. Namun, dalam kenyataan sehari-hari, perasaan "kehilangan" tersebut tampaknya baru bisa diperoleh sesudah hadir Inggit Garnasih, induk semang Bung Karno ketika berkuliah di THS Bandung.

Benih cinta pertama
"Aku sangat tertarik kepada gadis-gadis Belanda. Aku ingin sekali mengadakan hubungan cinta dengan mereka," begitu pernyataan Bung Karno. Alasannya sangat luas dan mendasar. Sebagai lelaki tampan yang sejak remaja sangat percaya diri, Bung Karno mengaku, "Hanya inilah satu-satunya jalan yang kuketahui untuk bisa memperoleh keunggulan terhadap bangsa kulit putih dan membikin mereka tunduk kepada kemauanku."
Mungkin saja semua pernyataan tersebut benar. Tetapi juga mungkin, daya khayal Bung Karno sangat melambung. Oleh karena dia kemudian mengungkapkan, cinta pertamanya tertuju kepada Pauline Gobee, anak gurunya. Kemudian muncul deretan nama, semuanya gadis keturunan Belanda, yakni Laura, Raat, Mien Hessels.
Bagaimanapun, sesuatu yang semula mungkin belum sempat dia bayangkan, hidup perkawinan justru sudah dimulai Bung Karno ketika usianya belum genap 20 tahun. Tahun 1921, di Surabaya, dia menikah dengan Siti Oetari, gadis usia 16 tahun, putri sulung tokoh Serikat Islam, Haji Oemar Said Tjokroaminoto, pemilik rumah tempatnya menumpang ketika dia di sekolah lanjutan atas. Beberapa saat sesudah menikah, Bung Karno meninggalkan Surabaya, pindah ke Bandung untuk melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi. Tjokroaminoto, ayah mertuanya, membantu mencarikan tempat indekos dengan menghubungi teman lamanya, Sanusi, seorang guru.
Bencana sering datang bagai pencuri, mendadak dan tidak terduga. Begitu Bung Karno tiba di Bandung, dijemput Sanusi di stasiun dan langsung diajak ke rumahnya, api gairah sudah mulai menyala. "Sekalipun aku belum memeriksa kamar, tetapi jelas ada keuntungan tertentu di rumah ini. Keuntungan utama justru berdiri di pintu masuk dalam sinar setengah gelap. Raut tubuhnya tampak jelas, dikelilingi oleh cahaya lampu dari arah belakang. Perawakannya kecil, sekuntum bunga cantik warna merah melekat di sanggul dengan senyum menyilaukan mata. Namanya Inggit Garnasih, istri Haji Sanusi."

Inggit Ganarsih
Menurut Bung Karno, "Segala percikan api yang memancar dari anak lelaki berumur dua puluh tahun, masih hijau dan belum punya pengalaman, telah menyambar seorang perempuan dalam umur tiga puluhan tahun yang matang dan berpengalaman." Percikan gairah tersebut tidak hanya berhenti membakar Bung Karno. Secara bersamaan menghanguskan simpul tali perkawinan yang baru satu tahun dia jalani. Meskipun alasannya, kata Bung Karno, "Oetari dan aku tidak dapat lebih lama menempati satu tempat tidur, bahkan satu kamar pun tidak. Jurang antara kami berdua semakin lebar. Sebagai seseorang yang baru saja kawin, kasih sayangku kepadanya hanya sebagai kakak."
Siti Oetari dicerai dan dikembalikan kepada Tjokroaminoto. Sementara itu, menurut Bung Karno, Sanusi adalah seorang tukang judi yang setiap malam terus-menerus menghabiskan waktunya di tempat bilyar. Maka mudah diduga apa yang bakal terjadi, "Aku seorang yang sangat kuat dalam arti jasmaniah dan pada hari-hari itu belum ada televisi. Hanya Inggit dan aku berada di rumah yang selalu kosong. Dia kesepian. Aku kesepian. Perkawinannya tidak betul. Perkawinanku tidak betul. Adalah wajar, hal-hal yang demikian itu kemudian tumbuh".
Apa pun alasannya sehingga mereka berdua menjadi dekat, Poeradisastra tetap menilai Inggit Garnasih seorang wanita luar biasa. "Kekasih satu-satunya yang mencintai Soekarno tidak karena alasan harta dan takhta, yang selalu memberi dan tidak pernah meminta kembali. Satu-satunya wanita yang bersedia menemani Soekarno dalam kemiskinan dan kekurangan."
Ditambahkannya, "Saya harus meminta maaf sebesar-besarnya kepada semua janda Soekarno, dengan segala jasa dan segi positifnya masing-masing. Tetapi saya harus mengatakan bahwa hanya Inggit merupakan tiga bentuk dalam satu kepribadian, yakni ibu, kekasih, dan kawan yang selalu memberi tanpa pernah meminta. Kekurangannya, Inggit tidak melahirkan anak."
Inggit Garnasih lebih tua 15 tahun dari Bung Karno sehingga lebih dewasa dalam bersikap ketika menghadapi saat-saat gawat. Wanita Sunda ini bagaikan induk ayam yang sayapnya selalu siap memberi perlindungan. Janda cerai selama empat bulan tersebut kemudian menikah dengan Bung Karno pada pertengahan tahun 1923.
Selama 20 tahun hidup perkawinannya bersama Bung Karno, dengan setia dia menjenguk suaminya ketika disekap di Penjara Sukamiskin. Dengan kesetiaan luar biasa mengikuti suaminya menjalani pengasingan di Flores, sambil mengajak ibu dan dua anak angkatnya. Asmi, ibu mertua Bung Karno, tutup usia ketika mendampingi menantunya di tempat pembuangan.

Memulai hidup baru lagi
Ada sebuah kalimat bersayap, hidup dimulai pada usia 40 tahun. Pada usia tersebut Bung Karno mungkin ingin merintis hidup baru, dengan memakai alasan sangat mendasar, soal anak.
Dengan kebesaran jiwa yang sulit dicari bandingannya, Inggit akhirnya menyerahkan Bung Karno kepada Fatmawati, bekas putri angkatnya dalam masa pembuangan di Bengkulu. Gadis yang ternyata berani dan bahkan sudah menjalin kasih sayang dengan ayah angkatnya, dan yang kemudian menjadi istri dari bekas suami ibu angkatnya.
Bencana dimulai dengan kedatangan Hassan Din bersama istri dan putrinya, Fatmawati, untuk mencari tempat indekos di Bengkulu. Secara kebetulan usia anak gadis tersebut sepadan dengan Ratna Djuami, anak angkat Bung Karno. Maka hari itu juga, Fatmawati langsung ditinggal pulang dan diserahkan pengawasannya kepada pasangan Bung Karno-Inggit. Pesona Fatmawati dilukiskan oleh Bung Karno, "Rambutnya seperti sutera di belah tengah dan menjurai ke belakang berjalin dua. Dengan senang hati aku menyambutnya sebagai anggota baru keluarga kami." Sesudah beberapa waktu tinggal bersama, Bung Karno berkomentar, "Aku senang terhadap Fatmawati. Kuajari dia bermain bulu tangkis. Ia berjalan-jalan denganku sepanjang tepi pantai yang berpasir, sementara alunan ombak berbuih putih memukul-mukul mata kaki."

Fatmawati
Dalam perjalanan waktu, hubungan mereka semakin bertambah erat. Meskipun, menurut Bung Karno, "Apa yang ditunjukkan Fatmawati kepadaku adalah sekadar pemujaan kepahlawanan. Umurku lebih 20 tahun dari padanya dan dia memanggilku Bapak. Bagiku dia hanya seorang gadis yang menyenangkan, salah seorang dari anak-anak yang selalu mengelilingiku untuk menghilangkan kesepian yang mulai melarut dalam kehidupanku. Yang kuberikan kepadanya kasih sayang seorang bapak."
Walau disembunyikan, akhirnya Inggit menyadari terjadinya percikan bunga-bunga cinta. "Aku merasa ada sebuah percintaan sedang menyala di rumah ini. Sukarno, jangan coba-coba menyembunyikan diri. Seseorang tidak bisa berbohong dengan sorot matanya."
Bung Karno masih mencoba berkilah, "Jangan begitu. Dia itu tidak ubahnya seperti anakku sendiri."
Inggit mengingatkan, "Menurut adat kita, perempuan tidak rapat kepada laki-laki. Kebiasaan anak gadis lebih rapat kepada si ibu, bukan kepada si bapak. Hati-hatilah, Engkau harus mendudukkan hal ini menurut cara yang pantas."
Bung Karno kemudian semakin sadar, "Fatmawati sudah menjadi perempuan cantik. Umurnya sudah 17 tahun dan ada kabar akan segera dikawinkan. Usia istriku mendekati usia 53 tahun. Aku masih muda, kuat dan sedang berada pada usia utama dalam kehidupan. Aku ingin anak, istriku tidak dapat memberikan. Aku menginginkan kegembiraan hidup, Inggit tidak lagi memikirkan soal-soal demikian"
Menurut versi Bung Karno, dengan cara sopan dia sudah pernah mengajukan izin untuk bisa menikahi Fatmawati. Dalam buku Kuantar ke Gerbang, karya Ramadhan KH berdasar wawancara dengan Inggit Garnasih, Bung Karno sambil menahan tangis bertanya, "Bukankah aku bisa mengawininya, sementara kita tidak usah bercerai?"

"Oh, dicandung? Ari kudu dicandung mah, cadu. (Oh dimadu? Kalau harus dimadu, pantang aku)," jawab Inggit sengit. "Boleh saja kau kawin, tetapi ceraikan diriku lebih dulu."

Akhirnya Bung Karno menceraikan Inggit setelah Jepang menduduki Indonesia dan mereka berdua pulang ke Jawa. Pada bulan Juni 1943, Bung Karno kawin dengan Fatmawati memakai cara nikah wakil, sebab mempelai putri masih tertinggal di Sumatera. Bulan November 1944, lahir putra pertama, Mohammad Guntur. Bung Karno langsung mengucapkan syukur, "Aku tidak sanggup melukiskan kegembiraan yang diberikan kepadaku. Umurku sudah 43 tahun dan akhirnya, Tuhan Maha Pengasih mengkaruniai kami seorang anak."

Menyembunyikan nama istri
Dalam autobiografinya yang terbit bulan November 1965 tetapi dikerjakan Cindy Adams sejak tahun 1963, Bung Karno mengungkapkan semua kisah perkawinannya, mulai dari Oetari, Inggit, Fatmawati sampai ke Hartini. Tetapi, melarang dicantumkannya kisah pernikahan dengan Naoko Nemoto (Maret 1962), Haryati (Mei 1963), dan Yurike Sanger (Agustus 1964).
Nama Dewi dan Haryati baru muncul dalam buku kedua Cindy Adams, terbit tahun 1967 dengan judul, My Friend the Dictator. Oleh karena itu buku tersebut juga masih melupakan Yurike Sanger, pelajar SMA berusia 16 tahun, bekas anggota "pagar ayu" Barisan Bhinneka Tunggal Ika. Kepada Majalah Swara Kartini, Yurike sempat mengungkapkan bahwa Bung Karno pernah berjanji kepadanya, "Adiklah, istri Mas yang terakhir".

Haryati
Di antara semua pernikahannya, yang kemudian memicu persoalan justru ketika menikahi Hartini. Wanita asal Ponorogo kelahiran tahun 1924 ini mengungkapkan, bertemu pertama dengan Bung Karno tahun 1952 di kota tempat tinggalnya, Salatiga, Jawa Tengah. "Bapak langsung menyatakan sangat tertarik kepada diri saya." Malahan ketika diberi tahu bahwa sudah punya lima orang anak, muncul komentar spontan, "Benar, sudah lima orang anak dan masih tetap secantik ini?"
Cinta pandangan pertama tersebut muncul seketika, dan Bung Karno menyebutkan, "Aku jatuh cinta kepadanya. Dan kisah percintaan kami begitu romantis sehingga orang dapat menulis sebuah buku tersendiri mengenai hal tersebut." Jatuh cinta bisa terjadi kapan dan di mana saja. Tetapi, yang kemudian menyulut reaksi pro-kontra, khususnya di kalangan wanita pada masa itu, oleh karena Bung Karno masih terikat perkawinan dengan Fatmawati, sementara status Hartini, ibu rumah tangga dengan lima orang anak.
Suasananya lebih diperburuk oleh karena secara kebetulan Dewan Perwakilan Rakyat sedang membicarakan Keputusan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1952 untuk mengatur tunjangan pensiun bagi janda pegawai negeri. Isu paling utama, bagaimana pembayaran gaji dilakukan jika istri pegawai negeri lebih dari satu? Isu ini kemudian mengangkat persoalan, apakah seorang pegawai negeri boleh mengambil istri baru? Dan kalau diizinkan, bagaimana persyaratannya?
Dengan munculnya isu itu, sejumlah ormas wanita penentang keputusan pemerintah melakukan unjuk rasa dan mengirim delegasi ke berbagai pihak. Termasuk menghadap Presiden Soekarno, yang saat itu sedang menjalin percintaan backstreet dengan Hartini. Mereka meminta Presiden memberi teladan dan ikut memperjuangkan lahirnya sebuah undang-undang perkawinan yang adil, sebagaimana dulu semangatnya pernah disebutkan Bung Karno dalam buku Sarinah. Para pimpinan ormas wanita tersebut mengemukakan, seandainya Presiden menghendaki poligami, minimal dia wajib untuk mengikuti ketentuan hukum Islam dan harus meminta persetujuan istri pertama lebih dahulu.
Ketegangan antara Bung Karno dengan ormas-ormas wanita penentang poligami mencapai puncaknya ketika Fatmawati, berkat dukungan kuat dari sebagian besar ormas wanita memutuskan "meninggalkan Istana Negara dan memulai kehidupan baru, terpisah dari suaminya."
Dilengkapi tekad Bung Karno yang tampaknya sudah tidak bisa disurutkan, setelah menjalin cinta gelap antara Jakarta-Salatiga, bulan Juli 1953, Bung Karno menikah dengan Hartini di Istana Cipanas. Bertindak sebagai wali nikah, oleh karena Bung Karno tidak bisa hadir, komandan pasukan pengawal pribadi Presiden, Mangil Martowidjojo.
Bung Karno mengungkapkan, "Fatmawati sangat marah atas perkawinan ini. Sebetulnya dia tidak perlu marah. Istriku pertama dan juga yang kedua adalah pemeluk Islam yang saleh serta menyadari hukum-hukum agama." Ditambahkannya, "Aku tidak menceraikan Fatma karena anak kami sudah lima orang. Bagi orang Barat, mengawini istri kedua selalu dianggap tidak beradab, tidak sopan dan tindakan kejam."
Sayang, Bung Karno ternyata tidak hanya berhenti sampai kepada istri kedua. Cindy Adams tanpa sengaja bertemu Haryati di Istana Tampaksiring, Bali, semasa mengikuti kunjungan Presiden Filipina Diosdado Macapagal. Tampaknya, Haryati waktu itu sudah lebih dulu dikirim ke Bali untuk mendahului rombongan resmi.
Haryati menjelaskan, "Kami menikah di Jakarta bulan Mei 1963 dan Bapak berpendapat, sangat bijaksana kalau pernikahan ini tidak usah diumumkan kepada masyarakat luas. Kami berdua saling mencintai, tetapi menghadapi berbagai kesulitan. Selain itu, Bapak sudah mempunyai tiga istri dan usianya sekarang 63 tahun, sedangkan saya baru
23 tahun." Kesulitan semacam ini tidak hanya menimpa Haryati. Oleh karena situasi serupa juga pernah dijalani Ratnasari Dewi. Dalam My Friend the Dictator, Dewi mengungkapkan, "Saya dikenalkan kepada Bapak di Hotel Imperial Tokyo oleh para rekan bisnis dari Jepang". Pertemuan pertama tersebut membawa kesan sangat dalam. Tidak lama kemudian, Bung Karno mengundangnya ke Jakarta, untuk bertamasya selama dua minggu.
Kunjungan tersebut diakhiri dengan perkawinan pada awal Maret 1962, setelah Naoko Nemoto pindah agama dan Bung Karno memilihkan nama sangat indah, Ratnasari Dewi. Tetapi perkawinan tersebut membawa korban. Ibu Naoko, seorang janda, kaget dan langsung meninggal mendengar putrinya menikah dengan orang asing. Disusul hanya 26 jam sesudahnya, Yaso, saudara lelaki Naoko, melakukan bunuh diri. "And I was so alone. I had lost my whole family."
Dewi menjelaskan, "Mengingat situasi serba tidak menguntungkan, mengambil orang asing sebagai istri baru, maka selama beberapa waktu pernikahan kami disembunyikan. Saya merasa sangat tersiksa, harus selalu sendirian dan bersembunyi di rumah. Satu-satunya kegembiraan, Bapak sangat memperhatikan segala macam keperluan saya. Bapak menyulutkan rokok saya, Bapak dengan setia membawakan buah-buahan."

Kelemahan dan kekuatan
Tulisan ini bukan untuk menunjukkan kelemahan kepribadian Bung Karno sebagai seorang lelaki. Tetapi ingin mengungkapkan betapa kemudian Bung Karno melupakan pesan Sarinah, semakin berani menyerempet bahaya, dan bahkan, melalaikan persyaratan aturan perkawinan menurut hukum Islam. Ketika otobiografi Bung Karno terbit, para istri Bung Karno kecewa. Hartini sangat marah, sebab namanya hanya muncul selintas, sedangkan Inggit dan Fatmawati diceriterakan panjang lebar.

Ratna Sari Dewi
Ratnasari Dewi bahkan sempat mengamuk, hanya karena namanya sama sekali tidak disebut. Yang justru paling senang dengan buku tersebut adalah Bung Karno, oleh karena dia langsung memerintahkan penerjemahan ke dalam bahasa Indonesia.

Tidak ada malaikat di antara manusia, setiap orang memiliki kelemahan dan kekurangan. Wanita pada satu sisi merupakan titik lemah Bung Karno, tetapi di sisi lain sesuatu yang mampu memberikan gairah dan semangat hidup. "I'm a very physical man. I must have sex every day," katanya dengan kebanggaan meluap kepada Cindy Adams.
Maka, sebuah kelemahan bisa berubah menjadi kekuatan, tergantung kepada situasi dan kondisi yang dihadapi. Tetapi ketika usianya sudah semakin lanjut, dilengkapi keruwetan pribadi akibat semakin kompleksnya pengaturan jadwal oleh karena yang harus dikelolanya semakin banyak, ketajaman analisis yang selama ini dimiliki Bung Karno mulai tumpul.
Akan tetapi, seberapa besar minus nilai Bung Karno sebagai lelaki, sama sekali tidak menghilangkan perannya sebagai pejuang kemerdekaan. Dan juga tidak akan melenyapkan sumbangannya dalam memimpin perjuangan untuk kemerdekaan bangsa dan Tanah Airnya, Indonesia, yang sangat dicintainya.
Mengamati perjalanan Bung Karno-sebagai akibat masa kecil yang mungkin kurang bahagia-dia berusaha mengimbangi dengan mengembangkan daya khayal sangat dahsyat. Khayalan tersebut tercipta dengan hadirnya sosok Sarinah; seorang wanita yang jauh lebih tua, lebih matang sekaligus punya kemampuan melindungi dan memberikan selimut kehangatan kepada batin Bung Karno. Oleh karena itu menjadi jelas, mengapa perkawinannya dengan Siti Oetari hanya bertahan kurang dari dua tahun. Kekosongan tersebut kemudian dipenuhi Inggit Garnasih, wanita sederhana yang rela mengabdi dengan sepenuh jiwa raganya.
Sering orang mempersoalkan, derita Bung Karno jauh lebih ringan dibanding para pejuang kemerdekaan Indonesia lainnya. Mereka diasingkan ke Digul atau Banda, sementara Bung Karno "hanya" ke Flores dan Bengkulu. Tetapi, di Digul atau Banda, mereka tidak terpencil, karena ada ratusan atau paling tidak sejumlah rekan lain dengan semangat dan daya nalar setara. Di sisi lain, Bung Karno harus tinggal sendirian, tanpa ada teman dengan tingkat intelektual sepadan di sekitarnya. Sungguh beruntung, dalam kesendirian tersebut di sampingnya tetap hadir Inggit Garnasih.
Sesudah Inggit terpaksa dan dipaksa surut ke belakang, frekuensi "ketergelinciran" Bung Karno semakin sering terjadi. Bung Karno yang merasa tetap perkasa, semakin tua justru semakin tambah percaya diri. Malahan mungkin merasa tidak memerlukan sayap pelindung, yang selama ini tanpa dia sadari menghangatkan batinnya.
Ia mengkhayalkan dirinya burung rajawali yang sanggup terbang sendirian menjelajah angkasa luas. Ia mungkin lupa, dalam kekosongan jiwa, rajawali tersebut telah merapuh, tidak ubahnya burung pipit yang selalu harus berusaha mencari perlindungan.


* dari berbagai sumber