Batang
pohon cempaka yang meranggas, kering, dan keriput itu masih berdiri di halaman
rumah Inggit Garnasih yang meninggal dunia 26 tahun lalu. Setiap hari Inggit
mengambil bunga cempaka dan mencampurnya dengan ramuan lain untuk dijadikan bedak
dan lulur yang ia jual di sekitar Bandung.
Kini
rumah mantan istri Presiden RI Soekarno di Jalan Inggit Garnasih Nomor 8, Kota
Bandung, itu sudah sepi. Rumah yang tahun 1994 dibeli Pemerintah Provinsi Jawa
Barat tersebut hanya dijaga oleh keluarga petugas dari Biro Umum Pemerintah
Provinsi Jabar. Beberapa ruangan di rumah itu kosong. Hanya cempaka, lukisan
Inggit berdampingan dengan Soekarno, serta lukisan Soekarno yang mengingatkan
pada kisah hidup pemiliknya.
Semasa
hidup, Inggit sering bercerita kepada Tito Asmara Hadi, cucu keempat Inggit
dari anak angkatnya, Ratna Juami atau Omi. Menurut Tito, Inggit yang lahir di
Kamasan, Banjaran, Kabupaten Bandung, 17 Februari 1888, itu menikah dengan
Koesno atau Soekarno pada 24 Maret 1923. Sebelumnya, Inggit pernah menikah
dengan saudagar Bandung, Sanusi.
Saat
menikah, Soekarno masih kuliah di Technische Hoogeschool te Bandung atau
Institut Teknologi Bandung. Ia sering berkumpul untuk memperjuangkan
kemerdekaan Indonesia. "Soekarno bukan tipe lelaki yang bisa mencari
nafkah sehingga Bu Inggit harus bekerja untuk keluarga dan kegiatan
pergerakan," kata Tito.
Diskusi,
berpidato ke berbagai tempat, dan lain-lain dilakukan Soekarno setiap hari dari
pagi hingga pagi. Jika diskusi dilakukan di rumah mereka, Inggit menyediakan
konsumsi. Inggit mendapatkan uang dari membuat dan menjual bedak, lulur,
pakaian, dan kutang. Ia juga menjadi agen cangkul, parang, dan sabun. Soekarno
sempat ditawari menjadi dosen dan pegawai pemerintah, tetapi ditolak. Soekarno
hanya bertahan beberapa bulan membuat biro teknik tahun 1926. Inggit sering
mendampingi Soekarno berpidato dan menjadi penerjemah bagi orang Sunda yang tak
bisa berbahasa Indonesia.
Meski
penuh derita, Inggit menjalankan tugasnya dengan ikhlas dan bersemangat.
Bahkan,
tak jarang ia melakukan hal berbahaya untuk membantu Soekarno. Saat Belanda
memenjarakan Soekarno di Banceuy, di perutnya Inggit menyelipkan buku sebagai
bahan pembelaan Soekarno. Saat penjaga penjara lengah, secepatnya ia
menyerahkan buku itu kepada Soekarno. Berkat buku itu, Soekarno bisa menulis
Indonesia Menggugat.
Pangkat
untuk rakyat
Ketika
Soekarno dipindahkan ke Penjara Sukamiskin, Inggit berjalan kaki 10 kilometer
mengunjungi Soekarno. Ia tak punya uang untuk ongkos naik delman.
Ketika
Soekarno dibuang ke Ende tahun 1933, Inggit membawa Omi dan ibunya, Amsi, untuk
menemani Soekarno di pembuangan. Ia juga turut serta saat Soekarno dibuang ke
Bengkulu tahun 1938. Di pembuangan, Inggit tetap bekerja membuat bedak, lulur,
dan pakaian. Ia juga pernah dengan berani berjalan kaki menemui Soekarno dari
Bengkulu ke Padang melewati hutan. Ia hanya berhenti saat makan sambil berdiri
karena jika duduk ia takut tak bisa kembali berdiri.
Di
Bengkulu, Inggit dan Soekarno mengangkat Fatmawati sebagai anak mereka.
Sebelumnya, Fatmawati adalah teman main Omi. Namun, tahun 1942, Soekarno
meminta izin menikahi Fatmawati. Karena tak mengizinkan, Inggit meminta
bercerai dan kembali ke Bandung. "Bu Inggit menikah 20 tahun dengan
Soekarno dan selama 14 tahun mendampingi di pembuangan," kata Tito.
Pulang
ke Bandung, rumah Inggit sudah hancur. Teman-temannya membangunkan kembali
beberapa tahun kemudian. Meski sudah bercerai, Inggit yang berusia lebih tua 12
tahun dari Soekarno tetap berhubungan baik. Soekarno pernah mengunjunginya
tahun 1964 dan 1966. Saat bertemu, Inggit selalu mengingatkan Soekarno bahwa
baju berpangkat yang dipakainya berasal dari rakyat. Karena itu, ia harus terus
berjuang untuk rakyat.
Inggit
meninggal tahun 1984. Di hari sebelum meninggal, ia tetap membuat lulur dan
bedak untuk menyambung hidup.
Inggit
Garnasih memang bukan satu-satunya istri Presiden Sukarno (Bung Karno tak sudi
namanya ditulis sebagai Soekarno karena sangat Belanda).
Ketika
pemilihan legislatif, banyak yang kemari untuk berziarah dan diliput oleh
wartawan. Tetapi, ketika mereka sudah jadi anggota dewan, apalagi yang Dewan di
Jakarta, sekarang ini tidak terlihat.
--
Oneng Rohiman, penjaga makam
Namun,
Inggit berpengaruh besar bagi Sukarno sejak pemuda dari Blitar di Jawa Timur
itu kuliah di Bandung dan indekos di rumah Inggit yang saat itu masih berstatus
istri Haji Sanusi.
Inggit
lantas menjanda, dan dinikahi Sukarno sebagai istri kedua. Istri pertamanya
adalah Utari binti Haji Umar Said Cokroaminoto, bapak kos sekaligus guru
politik Sukarno di Kampung Peneleh, Surabaya.
Lazim
diketahui, Inggit Garnasih adalah perempuan tangguh yang mendampingi Sukarno
pada masa-masa paling sulit dari kehidupan Sukarno selama 20 tahun.
Sebut
saja sejak Sukarno dikurung di Penjara Banceuy, Sukamiskin, hingga bersedia
mengikutinya ketika dibuang ke Pulau Ende, bahkan sampai Bengkulu.
Namun,
justru di Bengkulu pula, Sukarno mulai gandrung kepada Fatmawati. Gadis putri
tokoh Muhammadiyah lokal itu dinikahi Sukarno tahun 1943, tetapi kemudian
menggugat cerai tahun 1954 karena Sukarno giliran jatuh hati pada janda bernama
Hartini.
Lain
Bengkulu, lain pula Bandung. Di Bengkulu, pemerintah setempat menaruh hormat
pada Fatmawati dengan memuliakan namanya sebagai nama bandar udara.
Adapun
di Bandung, orang ramai seolah sudah melupakan Inggit. Meninggal tahun 1984
atau 14 tahun setelah Sukarno meninggal, Inggit dimakamkam di Pemakaman Umum
Porib, Caringin, Kota Bandung.
Makam
di daerah Bandung Selatan ini tampak tidak layak bagi Inggit jika melihat
jasa-jasanya dalam perjuangan bangsa Indonesia.
Penutup
makam nyaris roboh karena ada dua tiang yang sudah tidak berdiri tegak dan
miring terlihat menahan beban. Bahkan tembok tiang sudah retak-retak.
Tak
hanya itu, eternit penutup makam pun terlihat bocor. Air hujan menetes ke ruang
makam. Properti makam seperti batu nisan, lantai makam, serta foto-foto Inggit
dan Sukarno tampak lusuh termakan waktu. Begitu juga dengan warna cat tiang
kayu mulai lusuh.
"Waduh,
kalau tidak diperbaiki, ini pasti roboh. Tetapi, bagaimana mau memperbaiki,
tidak ada yang menyumbang baik itu dari pemerintah maupun dari
pribadi-pribadi," ungkap penjaga makam, Oneng Rohiman.
Oneng
mengeluhkan kurangnya kepedulian dari masyarakat Indonesia, terkait makam
Inggit Garnasih. Padahal kalau melihat jasa-jasanya, kata Oneng, sangat besar.
Dijelaskan
Oneng, dalam hal pembayaran listrik saja, dirinya harus mengeluarkan secara
pribadi sebesar Rp 50.000 per bulannya. Tidak pernah ada yang menyumbang
apalagi digratiskan oleh pemerintah.
"Soal
listrik harusnya digratiskan atau dibayar pemerintah kota. Namun, tidak
apa-apa, saya masih bisa membayar karena saya tahu perjuangan Ibu Inggit,"
kata Oneng.
Oneng
juga mengeluhkan para politikus nasionalis yang sering kali hanya memanfaatkan
nama Inggit Garnasih untuk kepentingannya.
"Coba
saja ketika zaman pemilihan legislatif, banyak yang kemari untuk berziarah dan
diliput oleh wartawan. Tetapi, ketika mereka sudah jadi anggota dewan, apalagi
yang Dewan di Jakarta, sekarang ini tidak terlihat," kata Oneng.
Dikatakan
Oneng, dirinya juga sangat heran ketika banyak kepala daerah ataupun wakil
kepala daerah yang berasal dari kalangan nasionalis sangat kurang peduli terhadap
makam Bu Inggit. Padahal, bantuan yang dibutuhkan untuk keadaan makam tidak
seberapa.
Oneng
menceritakan, hanya ada dua kepala daerah yang menurutnya peduli pada makam
Inggit Garnasih, yakni almarhum Ateng Wahyudi dan Nu'man Abdul Hakim.
Ateng
Wahyudi saat menjabat sebagai Wali Kota Bandung berhasil membangun kompleks
makam. Saat itu, kata Oneng, Ateng menambahkan bangunan agar makam tertutup.
Adapun
Nu'man Abdul Hakim saat menjabat sebagai Wakil Gubernur Jawa Barat merenovasi
kompleks makam. Bahkan, dia membangun fasilitas air wudu untuk para tamu yang
akan menunaikan shalat di kompleks makam Inggit.
Disinggung
mengenai jumlah penziarah, kata Oneng, masih belum menurun. Namun, yang ziarah
ke makam Inggit banyaknya para pejuang dan anak-anak pejuang, baik itu dari
Bandung, Jakarta, Bengkulu, Blitar, maupun Surabaya.
"Kalau
momen politik banyak. Tetapi kalau hari-hari biasa, paling dua sampai tiga
orang per minggu. Kalau keluarganya cukup sering," kata Oneng.
Oneng
dan dua penjaga makam Inggit kini hanya berharap ada kepedulian dari masyarakat
terhadap makam Inggit. "Ya, sekarang saya hanya ingin ada
kepedulian," kata Oneng. (SOB)
*Sumber: kompas.com