Menjadi Diri Sendiri dan Kepemimpinan Perempuan



Tidak banyak tokoh perempuan yang menjadi sorotan media. Namun tidak bisa kita pungkiri, dibalik tokoh (pria) terdapat wanita hebat dibelakangnya. Sebagai contoh, Soekarno Presiden Pertama Indonesia yang cukup disegani didunia, memiliki Ibu Inggit Garnasih. Tidak banyak yang mengenal Ibu Inggit, karena Indonesia lebih mengenal Ibu Fatmawati sebagai Ibu Negara (Istri Soekarno saat Indonesia merdeka). Namun, jika kita melihat kebelakang, peran serta Ibu Inggit dalam perjuangan Soekarno sangat besar. Sekitar 20 tahun Ibu Inggit menemani Soekarno didalam masa sukarnya. Pada saat Soekarno ditahan ataupun berpindah tugas. Bahkan Ibu Inggit turut mencari nafkah untuk menutupi kebutuhan. Ibu inggit bukan hanya sebagai Istri, namun juga sebagai Ibu dan Sahabat bagi Soekarno.
Namun ada perempuan yang juga berpengaruh di dunia maupun di media. Walaupun mereka bukan seorang pemimpin, namun mereka bisa dikatakan sebagai seorang yang dapat melakukan perubahan. Misalkan saja Putri Diana dan Bunda Teresa. Yang mereka lakukan dengan melakukan suatu perubahan menerbarkan kasih dengan tindakan nyata, bukan hanya sekedar berkampanye ataupun berteori.
Berbicara mengenai kepemimpinan dalam tataran negara, maka kita akan berbicara mengenai politik dan juga power. Harold Laswell mendefinisikan politik sebagai who gets what, how, and when. Dari pendefinisian ini, dapat dilihat bahwa politik adalah area yang maskulin karena menyangkut adanya strategi untuk mengejar serangkaian hal ambisius. Sementara untuk mewujudkan ambisi tersebut, maka seorang aktor politik dituntut untuk memiliki power. Mengacu pada Robert Dahl, power dapat dijelaskan sebagai kemampuan yang dimiliki oleh aktor politik dimana dia sanggup memaksa pihak lawan untuk melakukan hal yang tidak disukai oleh lawan tersebut, namun menguntungkan bagi si aktor politik. “The ability of A to get B to do something that B would not otherwise do”.
Dari sini dapat dilihat adanya relasi yang sangat dekat dan saling mendukung antara kepemimpinan, power, dan maskulinitas. Dengan kata lain, untuk dapat memimpin, seorang aktor politik dituntut untuk memiliki power. Sementara power  sendiri merujuk pada sifat-sifat maskulin, seperti ambisius, berani, kuat, dan juga pantang untuk ditundukkan. Mengacu pada konstruksi kepemimpinan yang sangat maskulin ini, lantas dimanakah perempuan, dan dimanakah femininitas.  Bila benar kepemimpinan dan politik adalah area lelaki, lalu bagaimana perempuan bisa mengakses area tersebut. Dengan menjadi maskulin-kah ?
Di samping itu, berkaca pada pengalaman beberapa negara yang pernah dipimpin oleh perempuan, tidak selalu kemudian negara ini menjadi negara yang lebih menjunjung tinggi perdamaian ataupun kemudian menjadi negara yang anti perang. Dalam faktanya tidak demikian. Karena sekali lagi, pemimpin perempuan terjebak dalam dominansi politik tingkat tinggi yang sangat maskulin. Sebut saja kebijakan Margaret Thatcher dalam menyikapi isu perebutan Kepulauan Malvinas, kebijakan Indira Gandhi terhadap Pakistan, lalu kebijakan luar negeri Amerika Serikat dalam Perang Irak yang notabene saat itu Condoleeza Rice menjabat sebagai Menteri Luar Negeri.
Meskipun demikian, kita tidak bisa menampik fakta yang berbeda, bahwa perempuan yang menjadi pemimpin juga bisa menjadi sosok inspiratif yang membawakan gaya kepemimpinan yang berbeda. Gaya kepemimpinan yang feminin, elegan, namun tetap memiliki “power” tersendiri. Sebut saja pemimpin kharismatik Burma Aung San Suu Kyi, mantan presiden Irlandia yang hingga saat ini aktif dalam kampanye perubahan iklim Mary Robinson, dan juga Cristina Fernandez, presiden Argentina yang sangat dicintai rakyatnya, dikenal dekat dengan golongan kecil, dan menjalankan roda pemerintahan yang bersih dan transparan.
Banyak yang menjadikan sosok kelahiran dan kehidupan Kartini sebagai simbol perjuangan wanita Indonesia. Namun kenyataannya wanita baru dapat muncul mengambil peranan strategis kepemimpinan baik dalam keprofesian hingga pemerintahan satu abad setelah kehadiran kartini. Apa yang menyebabkan kaum wanita berhasil menempatkan haknya yang setara dengan kaum pria dalam hal kepemimpinan?
Ada dua faktor pendobrak perubahan kaum wanita Indonesia, pertama adalah adanya pengaruh perubahan paradigma masyarakat dunia akibat dari pergerakan kaum feminis yang memperjuangkan hak kaum wanita di berbagai negara. Keberhasilan gerakan kaum feminis yang muncul dari eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet pada tahun 1785 diselatan Belanda. Pada abad 19 dan awal abad 20 keberhasilan gerakan feminisme mulai diterima masyarakat luas dengan gerakan yang mereka sebut Universal Sisterhood.
Salah satu keberhasilan kaum feminin memasukan filosofinya ialah dengan ditandai banyaknya konvensi internasional khususnya di bidang HAM yang memasukkan isu persamaan hak antara kaum wanita dengan pria serta menolak diskriminasi gender. Dari hal tersebut mau tidak mau suatu negara agar dikatakan sebagai negara yang beradab dan menjungjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan harus ikut meratifikasi berbagai konvensi internasional tersebut, misalnya ICCPR Tahun 1966 (Internastional Covenant on Civil and Political Right) yaitu suatu konvensi internasional dibidang perlindungan hak sipil dan politik.
Adanya dasar perlindungan hukum secara internasional tersebut menyebabkan suatu negara tidak terkecuali Indonesia menyesuaikan Hukum Nasionalnya dengan memasukkan isu perlindungan HAM itu salah satunya tentang non diskriminasi gender.
Lahir dari suku Batak yang dalam berbagai perbincangan atau suatu topik diskusi tentang “Gender” pada budaya Batak, beberapa di antaranya menganggap “wanita” mendapat posisi yang tidak setara dengan “pria”. Saya anak ketiga dari lima bersaudara, dan hanya ada satu pria saja diantara saudara saya. Untuk soal  pendidikan, orangtua memberikan yang terbaik, namun untuk soal pilihan tetap menjadi bahan pertimbangan. Termasuk ketika saya memutuskan untuk kuliah jauh dari orangtua selepas SMA. Orangtua masih beranggapan jika seorang perempuan tidak perlu jauh dari orangtuanya. Berbeda dengan saudara laki-laki saya yang diberikan kebebasan dalam mengambil keputusan.
Dikehidupan pertemanan juga, saya cenderung lebih banyak memiliki teman pria, mungkin karena saya terlihat sedikit maskulin. Namun hal tersebut tidak menjadi kendala buat saya, karena sesekali saya mendapatkan perhatian lebih dari mereka. Kekurangannya adalah, tidak semua kegiatan dan aktivitas mereka saya diikutsertakan, karena mereka masih menganggap saya seorang ‘perempuan’.