Dari Siti Oetari sampai Yurike Sanger





"BANYAK suami menilai istrinya bagaikan mutiara. Tetapi sebenarnya, mereka justru merusak dan tidak menghargai kebahagiaan istrinya? Mereka memuliakan istrinya, mereka cintai sebagai barang berharga, mereka anggap 'mutiara', tetapi sebagaimana orang selalu menyimpan mutiara di dalam kotak, demikian pula mereka menyimpan istrinya dalam kurungan atau 'pingitan'. Bukan untuk memperbudaknya, bukan untuk menghinanya, bukan untuk merendahkannya, begitu katanya. Melainkan untuk menjaga, untuk menghormati, untuk memuliakan. Perempuan mereka anggap sebagai Dewi, tetapi selalu mereka jaga, awasi dan selalu 'dibantu' sehingga menjadi insan yang sampai mati justru tidak akan pernah bisa menjadi dewasa"Hal ini dikemukakan Soekarno dalam Sarinah, buku yang secara rinci mengemukakan pandangan Bung Karno terhadap perempuan. Bahwa mereka, adalah bagian mutlak perjuangan kemerdekaan, oleh karena itu peran sertanya sejajar dan sangat dibutuhkan.
Sarinah diterbitkan di Yogyakarta tahun 1947, di tengah perang kemerdekaan. Tetapi yang menarik, buku tersebut sengaja ditulis Bung Karno. Sementara kita tahu, hampir semua karyanya pada umumnya berasal dari transkrip pidato dan jarang yang sengaja dipersiapkan sebagai buku. "Atas permintaan banyak orang, apa yang pernah saya kursuskan, kemudian saya tulis dan saya lengkapi, Sarinah inilah hasilnya," katanya dalam pengantar buku.
Awal tahun 1946, akibat tekanan politis dari Pemerintah Belanda yang tidak menghendaki bekas jajahannya merdeka, Pemerintah Republik terpaksa mengungsi dari Jakarta. Dan di Yogya, setiap dua minggu sekali, Bung Karno menyelenggarakan kursus wanita di ruang belakang Istana Kepresidenan. Bahan-bahan kursus, dengan bantuan Mualliff Nasution, sekretaris pribadinya, dikumpulkan, dilengkapi, dan ditulis ulang oleh Bung Karno, dipersiapkan menjadi buku.
Bahwa judul bukunya demikian, alasannya sederhana. "Saya namakan Sarinah, sebagai tanda terima kasih. Ketika masih kanak-kanak, pengasuh saya bernama Sarinah. Ia mbok saya. Ia membantu Ibu saya, dan dari dia saya telah menerima rasa cinta dan rasa kasih. Dari dia saya menerima pelajaran untuk mencintai orang kecil. Dia sendiri orang kecil, tetapi budinya besar. Semoga Tuhan membalas kebaikannya."
Sarinah hadir dalam kehidupan Bung Karno sejak tinggal di Mojokerto, Jawa Timur, pertengahan tahun 1917. Sebagaimana dikisahkan melalui Sukarno, An Autobiography as Told to Cindy Adams, dia dilahirkan di Surabaya (1901) dengan nama Kusno. Oleh karena sejak kecil sering sakit, sesuai kebiasaan setempat, ayahnya mencari nama baru, Soekarno. "Karena itu, Soekarno menjadi namaku sebenarnya dan satu-satunya. Pernah ada wartawan goblok menulis nama awalku Ahmad. Sungguh menggelikan. Namaku hanya Soekarno. Dan memang, dalam masyarakat kami, tidak luar biasa memakai satu nama.
Di Mojokerto, Bung Karno kecil tinggal bersama ayahnya, seorang guru, Raden Soekemi Sosrodihardjo. Ibunya, Ida Ajoe Njoman Rai, keturunan bangsawan Bali, dan Sukarmini kakak kandungnya yang dua tahun lebih tua. Sesudah beberapa waktu, datang orang kelima, sosok yang disebutnya, "Bagian rumah tangga kami. Dia tidak pernah kawin, tidur dengan kami, makan apa yang kami makan, tetapi tidak mendapat gaji sepeser pun. Dialah yang mengajarku untuk mengenal cinta kasih, tetapi bukan dalam pengertian jasmaniah. Dan mulai mengajarku mencintai rakyat."
Dengan nada plastis yang digemarinya, Bung Karno melukiskan, "Selagi Sarinah memasak di gubuk kecil dekat rumah, aku selalu duduk di sampingnya. Dia kemudian mengatakan, Karno, yang terutama engkau harus mencintai ibumu. Akan tetapi kemudian engkau harus mencintai rakyat jelata. Engkau harus mencintai manusia pada umumnya."
Bung Karno menambahkan, "Sarinah adalah nama biasa. Akan tetapi, Sarinah yang ini bukan wanita biasa. Ia adalah satu kekuasaan yang paling besar dalam hidupku."

Kurang kasih sayang ibu
Sangat menarik mencermati kedekatan Bung Karno dengan ibunya, sebagaimana pernah dipesankan Sarinah. Ternyata, tidak ada buku atau tulisan yang khusus dipersembahkan Bung Karno kepada ibunya. Dalam otobiografinya, namanya hanya sepintas disebutkan, memberikan pangestu sewaktu Bung Karno masih kecil. Selain itu, sebelum tidur, sering menceriterakan kisah kepahlawanan. Dan semasa perang kemerdekaan, menghardik para gerilyawan yang mencoba menghindari pertempuran.
Bagaimana sesungguhnya keakraban Bung Karno dengan ibunya, dan dengan begitu penghargaannya kepada kaum wanita, sempat menumbuhkan beragam analisis. Kita bisa saja berspekulasi, oleh karena terlampau diagungkan, sosok Sarinah mungkin hanya imajiner. Sulit mencari bukti, apakah Sarinah benar-benar ada. Dan jika demikian, apakah memang begitu besar perannya dalam membentuk kepribadian Bung Karno?
Prof . SI Poeradisastra, dalam kata pengantar buku Kuantar ke Gerbang, Kisah Cinta Ibu Inggit dengan Bung Karno (terbit tahun 1981) pernah mempersoalkan masalah ini. Ada foto Bung Karno sedang menjumpai ibunya. Dia berlutut di hadapan wanita tua tersebut dengan sangat khidmat. Tetapi, demikian Poeradisastra, dua hal tetap menjadi pertanyaan.
Pertama, mengapa Ida Ajoe tidak pernah menengok putranya, baik ke Jakarta maupun ketika masih berada di Yogyakarta? Hal tersebut tidak dia lakukan, bahkan juga sesudah tahun 1950, sewaktu kedaulatan Republik Indonesia sudah diakui dunia internasional; ketika suasana mulai tenang dan Bung Karno telah dikukuhkan (lagi) sebagai presiden.
Perjalanan ke Jakarta dilakukan hanya saat suaminya wafat di zaman Jepang. Sedangkan sampai sekitar tahun 1950, sewajarnya ibu ini belum terlalu sepuh untuk tidak sanggup mengunjungi putra dan cucunya yang sudah menetap di Istana Negara, Jakarta. Apa yang sebenarnya terjadi?
Kedua, mengapa sampai ada dua monumen kasih sayang dari Bung Karno kepada Sarinah? Buku tentang perjuangan kaum wanita, dan nama toko serba ada pertama di Indonesia. Tetapi, justru tidak ada kenangan khusus untuk Ida Ajoe Njoman Rai?
Atas dasar dua pertanyaan tersebut, Poeradisastra menarik kesimpulan, "Bung Karno adalah penderita kekurangan kasih sayang ibu, sehingga dia akhirnya malah mengidealkan dan mengidolakan Sarinah, sebagai wanita tua yang sepenuhnya memberikan kasih sayangnya."
Dalam impian, "kehilangan" sebuah kasih sayang mungkin saja bisa dipenuhi dengan cara menampilkan sosok Sarinah. Namun, dalam kenyataan sehari-hari, perasaan "kehilangan" tersebut tampaknya baru bisa diperoleh sesudah hadir Inggit Garnasih, induk semang Bung Karno ketika berkuliah di THS Bandung.

Benih cinta pertama
"Aku sangat tertarik kepada gadis-gadis Belanda. Aku ingin sekali mengadakan hubungan cinta dengan mereka," begitu pernyataan Bung Karno. Alasannya sangat luas dan mendasar. Sebagai lelaki tampan yang sejak remaja sangat percaya diri, Bung Karno mengaku, "Hanya inilah satu-satunya jalan yang kuketahui untuk bisa memperoleh keunggulan terhadap bangsa kulit putih dan membikin mereka tunduk kepada kemauanku."
Mungkin saja semua pernyataan tersebut benar. Tetapi juga mungkin, daya khayal Bung Karno sangat melambung. Oleh karena dia kemudian mengungkapkan, cinta pertamanya tertuju kepada Pauline Gobee, anak gurunya. Kemudian muncul deretan nama, semuanya gadis keturunan Belanda, yakni Laura, Raat, Mien Hessels.
Bagaimanapun, sesuatu yang semula mungkin belum sempat dia bayangkan, hidup perkawinan justru sudah dimulai Bung Karno ketika usianya belum genap 20 tahun. Tahun 1921, di Surabaya, dia menikah dengan Siti Oetari, gadis usia 16 tahun, putri sulung tokoh Serikat Islam, Haji Oemar Said Tjokroaminoto, pemilik rumah tempatnya menumpang ketika dia di sekolah lanjutan atas. Beberapa saat sesudah menikah, Bung Karno meninggalkan Surabaya, pindah ke Bandung untuk melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi. Tjokroaminoto, ayah mertuanya, membantu mencarikan tempat indekos dengan menghubungi teman lamanya, Sanusi, seorang guru.
Bencana sering datang bagai pencuri, mendadak dan tidak terduga. Begitu Bung Karno tiba di Bandung, dijemput Sanusi di stasiun dan langsung diajak ke rumahnya, api gairah sudah mulai menyala. "Sekalipun aku belum memeriksa kamar, tetapi jelas ada keuntungan tertentu di rumah ini. Keuntungan utama justru berdiri di pintu masuk dalam sinar setengah gelap. Raut tubuhnya tampak jelas, dikelilingi oleh cahaya lampu dari arah belakang. Perawakannya kecil, sekuntum bunga cantik warna merah melekat di sanggul dengan senyum menyilaukan mata. Namanya Inggit Garnasih, istri Haji Sanusi."

Inggit Ganarsih
Menurut Bung Karno, "Segala percikan api yang memancar dari anak lelaki berumur dua puluh tahun, masih hijau dan belum punya pengalaman, telah menyambar seorang perempuan dalam umur tiga puluhan tahun yang matang dan berpengalaman." Percikan gairah tersebut tidak hanya berhenti membakar Bung Karno. Secara bersamaan menghanguskan simpul tali perkawinan yang baru satu tahun dia jalani. Meskipun alasannya, kata Bung Karno, "Oetari dan aku tidak dapat lebih lama menempati satu tempat tidur, bahkan satu kamar pun tidak. Jurang antara kami berdua semakin lebar. Sebagai seseorang yang baru saja kawin, kasih sayangku kepadanya hanya sebagai kakak."
Siti Oetari dicerai dan dikembalikan kepada Tjokroaminoto. Sementara itu, menurut Bung Karno, Sanusi adalah seorang tukang judi yang setiap malam terus-menerus menghabiskan waktunya di tempat bilyar. Maka mudah diduga apa yang bakal terjadi, "Aku seorang yang sangat kuat dalam arti jasmaniah dan pada hari-hari itu belum ada televisi. Hanya Inggit dan aku berada di rumah yang selalu kosong. Dia kesepian. Aku kesepian. Perkawinannya tidak betul. Perkawinanku tidak betul. Adalah wajar, hal-hal yang demikian itu kemudian tumbuh".
Apa pun alasannya sehingga mereka berdua menjadi dekat, Poeradisastra tetap menilai Inggit Garnasih seorang wanita luar biasa. "Kekasih satu-satunya yang mencintai Soekarno tidak karena alasan harta dan takhta, yang selalu memberi dan tidak pernah meminta kembali. Satu-satunya wanita yang bersedia menemani Soekarno dalam kemiskinan dan kekurangan."
Ditambahkannya, "Saya harus meminta maaf sebesar-besarnya kepada semua janda Soekarno, dengan segala jasa dan segi positifnya masing-masing. Tetapi saya harus mengatakan bahwa hanya Inggit merupakan tiga bentuk dalam satu kepribadian, yakni ibu, kekasih, dan kawan yang selalu memberi tanpa pernah meminta. Kekurangannya, Inggit tidak melahirkan anak."
Inggit Garnasih lebih tua 15 tahun dari Bung Karno sehingga lebih dewasa dalam bersikap ketika menghadapi saat-saat gawat. Wanita Sunda ini bagaikan induk ayam yang sayapnya selalu siap memberi perlindungan. Janda cerai selama empat bulan tersebut kemudian menikah dengan Bung Karno pada pertengahan tahun 1923.
Selama 20 tahun hidup perkawinannya bersama Bung Karno, dengan setia dia menjenguk suaminya ketika disekap di Penjara Sukamiskin. Dengan kesetiaan luar biasa mengikuti suaminya menjalani pengasingan di Flores, sambil mengajak ibu dan dua anak angkatnya. Asmi, ibu mertua Bung Karno, tutup usia ketika mendampingi menantunya di tempat pembuangan.

Memulai hidup baru lagi
Ada sebuah kalimat bersayap, hidup dimulai pada usia 40 tahun. Pada usia tersebut Bung Karno mungkin ingin merintis hidup baru, dengan memakai alasan sangat mendasar, soal anak.
Dengan kebesaran jiwa yang sulit dicari bandingannya, Inggit akhirnya menyerahkan Bung Karno kepada Fatmawati, bekas putri angkatnya dalam masa pembuangan di Bengkulu. Gadis yang ternyata berani dan bahkan sudah menjalin kasih sayang dengan ayah angkatnya, dan yang kemudian menjadi istri dari bekas suami ibu angkatnya.
Bencana dimulai dengan kedatangan Hassan Din bersama istri dan putrinya, Fatmawati, untuk mencari tempat indekos di Bengkulu. Secara kebetulan usia anak gadis tersebut sepadan dengan Ratna Djuami, anak angkat Bung Karno. Maka hari itu juga, Fatmawati langsung ditinggal pulang dan diserahkan pengawasannya kepada pasangan Bung Karno-Inggit. Pesona Fatmawati dilukiskan oleh Bung Karno, "Rambutnya seperti sutera di belah tengah dan menjurai ke belakang berjalin dua. Dengan senang hati aku menyambutnya sebagai anggota baru keluarga kami." Sesudah beberapa waktu tinggal bersama, Bung Karno berkomentar, "Aku senang terhadap Fatmawati. Kuajari dia bermain bulu tangkis. Ia berjalan-jalan denganku sepanjang tepi pantai yang berpasir, sementara alunan ombak berbuih putih memukul-mukul mata kaki."

Fatmawati
Dalam perjalanan waktu, hubungan mereka semakin bertambah erat. Meskipun, menurut Bung Karno, "Apa yang ditunjukkan Fatmawati kepadaku adalah sekadar pemujaan kepahlawanan. Umurku lebih 20 tahun dari padanya dan dia memanggilku Bapak. Bagiku dia hanya seorang gadis yang menyenangkan, salah seorang dari anak-anak yang selalu mengelilingiku untuk menghilangkan kesepian yang mulai melarut dalam kehidupanku. Yang kuberikan kepadanya kasih sayang seorang bapak."
Walau disembunyikan, akhirnya Inggit menyadari terjadinya percikan bunga-bunga cinta. "Aku merasa ada sebuah percintaan sedang menyala di rumah ini. Sukarno, jangan coba-coba menyembunyikan diri. Seseorang tidak bisa berbohong dengan sorot matanya."
Bung Karno masih mencoba berkilah, "Jangan begitu. Dia itu tidak ubahnya seperti anakku sendiri."
Inggit mengingatkan, "Menurut adat kita, perempuan tidak rapat kepada laki-laki. Kebiasaan anak gadis lebih rapat kepada si ibu, bukan kepada si bapak. Hati-hatilah, Engkau harus mendudukkan hal ini menurut cara yang pantas."
Bung Karno kemudian semakin sadar, "Fatmawati sudah menjadi perempuan cantik. Umurnya sudah 17 tahun dan ada kabar akan segera dikawinkan. Usia istriku mendekati usia 53 tahun. Aku masih muda, kuat dan sedang berada pada usia utama dalam kehidupan. Aku ingin anak, istriku tidak dapat memberikan. Aku menginginkan kegembiraan hidup, Inggit tidak lagi memikirkan soal-soal demikian"
Menurut versi Bung Karno, dengan cara sopan dia sudah pernah mengajukan izin untuk bisa menikahi Fatmawati. Dalam buku Kuantar ke Gerbang, karya Ramadhan KH berdasar wawancara dengan Inggit Garnasih, Bung Karno sambil menahan tangis bertanya, "Bukankah aku bisa mengawininya, sementara kita tidak usah bercerai?"

"Oh, dicandung? Ari kudu dicandung mah, cadu. (Oh dimadu? Kalau harus dimadu, pantang aku)," jawab Inggit sengit. "Boleh saja kau kawin, tetapi ceraikan diriku lebih dulu."

Akhirnya Bung Karno menceraikan Inggit setelah Jepang menduduki Indonesia dan mereka berdua pulang ke Jawa. Pada bulan Juni 1943, Bung Karno kawin dengan Fatmawati memakai cara nikah wakil, sebab mempelai putri masih tertinggal di Sumatera. Bulan November 1944, lahir putra pertama, Mohammad Guntur. Bung Karno langsung mengucapkan syukur, "Aku tidak sanggup melukiskan kegembiraan yang diberikan kepadaku. Umurku sudah 43 tahun dan akhirnya, Tuhan Maha Pengasih mengkaruniai kami seorang anak."

Menyembunyikan nama istri
Dalam autobiografinya yang terbit bulan November 1965 tetapi dikerjakan Cindy Adams sejak tahun 1963, Bung Karno mengungkapkan semua kisah perkawinannya, mulai dari Oetari, Inggit, Fatmawati sampai ke Hartini. Tetapi, melarang dicantumkannya kisah pernikahan dengan Naoko Nemoto (Maret 1962), Haryati (Mei 1963), dan Yurike Sanger (Agustus 1964).
Nama Dewi dan Haryati baru muncul dalam buku kedua Cindy Adams, terbit tahun 1967 dengan judul, My Friend the Dictator. Oleh karena itu buku tersebut juga masih melupakan Yurike Sanger, pelajar SMA berusia 16 tahun, bekas anggota "pagar ayu" Barisan Bhinneka Tunggal Ika. Kepada Majalah Swara Kartini, Yurike sempat mengungkapkan bahwa Bung Karno pernah berjanji kepadanya, "Adiklah, istri Mas yang terakhir".

Haryati
Di antara semua pernikahannya, yang kemudian memicu persoalan justru ketika menikahi Hartini. Wanita asal Ponorogo kelahiran tahun 1924 ini mengungkapkan, bertemu pertama dengan Bung Karno tahun 1952 di kota tempat tinggalnya, Salatiga, Jawa Tengah. "Bapak langsung menyatakan sangat tertarik kepada diri saya." Malahan ketika diberi tahu bahwa sudah punya lima orang anak, muncul komentar spontan, "Benar, sudah lima orang anak dan masih tetap secantik ini?"
Cinta pandangan pertama tersebut muncul seketika, dan Bung Karno menyebutkan, "Aku jatuh cinta kepadanya. Dan kisah percintaan kami begitu romantis sehingga orang dapat menulis sebuah buku tersendiri mengenai hal tersebut." Jatuh cinta bisa terjadi kapan dan di mana saja. Tetapi, yang kemudian menyulut reaksi pro-kontra, khususnya di kalangan wanita pada masa itu, oleh karena Bung Karno masih terikat perkawinan dengan Fatmawati, sementara status Hartini, ibu rumah tangga dengan lima orang anak.
Suasananya lebih diperburuk oleh karena secara kebetulan Dewan Perwakilan Rakyat sedang membicarakan Keputusan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1952 untuk mengatur tunjangan pensiun bagi janda pegawai negeri. Isu paling utama, bagaimana pembayaran gaji dilakukan jika istri pegawai negeri lebih dari satu? Isu ini kemudian mengangkat persoalan, apakah seorang pegawai negeri boleh mengambil istri baru? Dan kalau diizinkan, bagaimana persyaratannya?
Dengan munculnya isu itu, sejumlah ormas wanita penentang keputusan pemerintah melakukan unjuk rasa dan mengirim delegasi ke berbagai pihak. Termasuk menghadap Presiden Soekarno, yang saat itu sedang menjalin percintaan backstreet dengan Hartini. Mereka meminta Presiden memberi teladan dan ikut memperjuangkan lahirnya sebuah undang-undang perkawinan yang adil, sebagaimana dulu semangatnya pernah disebutkan Bung Karno dalam buku Sarinah. Para pimpinan ormas wanita tersebut mengemukakan, seandainya Presiden menghendaki poligami, minimal dia wajib untuk mengikuti ketentuan hukum Islam dan harus meminta persetujuan istri pertama lebih dahulu.
Ketegangan antara Bung Karno dengan ormas-ormas wanita penentang poligami mencapai puncaknya ketika Fatmawati, berkat dukungan kuat dari sebagian besar ormas wanita memutuskan "meninggalkan Istana Negara dan memulai kehidupan baru, terpisah dari suaminya."
Dilengkapi tekad Bung Karno yang tampaknya sudah tidak bisa disurutkan, setelah menjalin cinta gelap antara Jakarta-Salatiga, bulan Juli 1953, Bung Karno menikah dengan Hartini di Istana Cipanas. Bertindak sebagai wali nikah, oleh karena Bung Karno tidak bisa hadir, komandan pasukan pengawal pribadi Presiden, Mangil Martowidjojo.
Bung Karno mengungkapkan, "Fatmawati sangat marah atas perkawinan ini. Sebetulnya dia tidak perlu marah. Istriku pertama dan juga yang kedua adalah pemeluk Islam yang saleh serta menyadari hukum-hukum agama." Ditambahkannya, "Aku tidak menceraikan Fatma karena anak kami sudah lima orang. Bagi orang Barat, mengawini istri kedua selalu dianggap tidak beradab, tidak sopan dan tindakan kejam."
Sayang, Bung Karno ternyata tidak hanya berhenti sampai kepada istri kedua. Cindy Adams tanpa sengaja bertemu Haryati di Istana Tampaksiring, Bali, semasa mengikuti kunjungan Presiden Filipina Diosdado Macapagal. Tampaknya, Haryati waktu itu sudah lebih dulu dikirim ke Bali untuk mendahului rombongan resmi.
Haryati menjelaskan, "Kami menikah di Jakarta bulan Mei 1963 dan Bapak berpendapat, sangat bijaksana kalau pernikahan ini tidak usah diumumkan kepada masyarakat luas. Kami berdua saling mencintai, tetapi menghadapi berbagai kesulitan. Selain itu, Bapak sudah mempunyai tiga istri dan usianya sekarang 63 tahun, sedangkan saya baru
23 tahun." Kesulitan semacam ini tidak hanya menimpa Haryati. Oleh karena situasi serupa juga pernah dijalani Ratnasari Dewi. Dalam My Friend the Dictator, Dewi mengungkapkan, "Saya dikenalkan kepada Bapak di Hotel Imperial Tokyo oleh para rekan bisnis dari Jepang". Pertemuan pertama tersebut membawa kesan sangat dalam. Tidak lama kemudian, Bung Karno mengundangnya ke Jakarta, untuk bertamasya selama dua minggu.
Kunjungan tersebut diakhiri dengan perkawinan pada awal Maret 1962, setelah Naoko Nemoto pindah agama dan Bung Karno memilihkan nama sangat indah, Ratnasari Dewi. Tetapi perkawinan tersebut membawa korban. Ibu Naoko, seorang janda, kaget dan langsung meninggal mendengar putrinya menikah dengan orang asing. Disusul hanya 26 jam sesudahnya, Yaso, saudara lelaki Naoko, melakukan bunuh diri. "And I was so alone. I had lost my whole family."
Dewi menjelaskan, "Mengingat situasi serba tidak menguntungkan, mengambil orang asing sebagai istri baru, maka selama beberapa waktu pernikahan kami disembunyikan. Saya merasa sangat tersiksa, harus selalu sendirian dan bersembunyi di rumah. Satu-satunya kegembiraan, Bapak sangat memperhatikan segala macam keperluan saya. Bapak menyulutkan rokok saya, Bapak dengan setia membawakan buah-buahan."

Kelemahan dan kekuatan
Tulisan ini bukan untuk menunjukkan kelemahan kepribadian Bung Karno sebagai seorang lelaki. Tetapi ingin mengungkapkan betapa kemudian Bung Karno melupakan pesan Sarinah, semakin berani menyerempet bahaya, dan bahkan, melalaikan persyaratan aturan perkawinan menurut hukum Islam. Ketika otobiografi Bung Karno terbit, para istri Bung Karno kecewa. Hartini sangat marah, sebab namanya hanya muncul selintas, sedangkan Inggit dan Fatmawati diceriterakan panjang lebar.

Ratna Sari Dewi
Ratnasari Dewi bahkan sempat mengamuk, hanya karena namanya sama sekali tidak disebut. Yang justru paling senang dengan buku tersebut adalah Bung Karno, oleh karena dia langsung memerintahkan penerjemahan ke dalam bahasa Indonesia.

Tidak ada malaikat di antara manusia, setiap orang memiliki kelemahan dan kekurangan. Wanita pada satu sisi merupakan titik lemah Bung Karno, tetapi di sisi lain sesuatu yang mampu memberikan gairah dan semangat hidup. "I'm a very physical man. I must have sex every day," katanya dengan kebanggaan meluap kepada Cindy Adams.
Maka, sebuah kelemahan bisa berubah menjadi kekuatan, tergantung kepada situasi dan kondisi yang dihadapi. Tetapi ketika usianya sudah semakin lanjut, dilengkapi keruwetan pribadi akibat semakin kompleksnya pengaturan jadwal oleh karena yang harus dikelolanya semakin banyak, ketajaman analisis yang selama ini dimiliki Bung Karno mulai tumpul.
Akan tetapi, seberapa besar minus nilai Bung Karno sebagai lelaki, sama sekali tidak menghilangkan perannya sebagai pejuang kemerdekaan. Dan juga tidak akan melenyapkan sumbangannya dalam memimpin perjuangan untuk kemerdekaan bangsa dan Tanah Airnya, Indonesia, yang sangat dicintainya.
Mengamati perjalanan Bung Karno-sebagai akibat masa kecil yang mungkin kurang bahagia-dia berusaha mengimbangi dengan mengembangkan daya khayal sangat dahsyat. Khayalan tersebut tercipta dengan hadirnya sosok Sarinah; seorang wanita yang jauh lebih tua, lebih matang sekaligus punya kemampuan melindungi dan memberikan selimut kehangatan kepada batin Bung Karno. Oleh karena itu menjadi jelas, mengapa perkawinannya dengan Siti Oetari hanya bertahan kurang dari dua tahun. Kekosongan tersebut kemudian dipenuhi Inggit Garnasih, wanita sederhana yang rela mengabdi dengan sepenuh jiwa raganya.
Sering orang mempersoalkan, derita Bung Karno jauh lebih ringan dibanding para pejuang kemerdekaan Indonesia lainnya. Mereka diasingkan ke Digul atau Banda, sementara Bung Karno "hanya" ke Flores dan Bengkulu. Tetapi, di Digul atau Banda, mereka tidak terpencil, karena ada ratusan atau paling tidak sejumlah rekan lain dengan semangat dan daya nalar setara. Di sisi lain, Bung Karno harus tinggal sendirian, tanpa ada teman dengan tingkat intelektual sepadan di sekitarnya. Sungguh beruntung, dalam kesendirian tersebut di sampingnya tetap hadir Inggit Garnasih.
Sesudah Inggit terpaksa dan dipaksa surut ke belakang, frekuensi "ketergelinciran" Bung Karno semakin sering terjadi. Bung Karno yang merasa tetap perkasa, semakin tua justru semakin tambah percaya diri. Malahan mungkin merasa tidak memerlukan sayap pelindung, yang selama ini tanpa dia sadari menghangatkan batinnya.
Ia mengkhayalkan dirinya burung rajawali yang sanggup terbang sendirian menjelajah angkasa luas. Ia mungkin lupa, dalam kekosongan jiwa, rajawali tersebut telah merapuh, tidak ubahnya burung pipit yang selalu harus berusaha mencari perlindungan.


* dari berbagai sumber