Selamat Ulang Tahun Arniii...


Bertambah 1 tahun lagi usiaku.

Wow.. tahun ini berbeda dengan tahun sebelumnya. Kalau sebelumnya aku ingin setiap orang yang kukenal mengucap selamat padaku, kali ini justru hanya aku yang ingin ingat ulang tahunku.
Dan ini merupakan Ulang Tahun paling special yang kurasakan. Aku bisa berkumpul dengan sahabat2ku. Yah, setelah -/+ 4 tahun kami tidak bisa utuh menjadi 1 bagian.

Wow.. aku ga bosen bilang wow...
Hal ini sudah kuimpikan sejak lama.
Kami bisa bersama lagi ber-5 (Josep, Benni, Arni, Afri, Ridho).
Mungkin karena ego masa muda kami dan kesibukan kami, membuat kami tertunda untuk bersama.
                     
Kado yang kudapatkan lagi adalah, aku ditawarkan untuk menjadi korwil IV GMKI. Disaat Ulang Tahunku..?? Dihubungi Ketum terpilih secara langsung..??
Wow...
Lagi-lagi aku Cuma bilang wow...

Dasar kepemimpinan


Definisi Kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi perilaku seseorang atau sekelompok orang untuk mencapai tujuan tertentu pada situasi tertentu. Kepemimpinan merupakan masalah sosial yang didalamnya terjadi interaksi antara pihak yang memimpin dengan pihak yang dipimpin untuk mencapai tujuan bersama, baik dengan cara mempengaruhi, membujuk, memotivasi dan mengkoordinasi.

Kaitan antara Kepemimpinan (leadership) dan Pemimpin (leader) dalam kehidupan sehari –hari apalagi dalam sebuah organisasi  menjadi topik yang selalu erat dan dibutuhkan.  Organisasi tanpa pemimpin maka akan bubar, demikian juga bila pemimpin tanpa kepemimpinan akan kacau. Jadi kepemimpinan dan pemimpin merupakan suatu kesatuan. Pemimpin menunjuk subjek sementara kepemimpinan merujuk pada sifat.  Pemimpin adalah fungsi dari kepemimpinan. Pemimpin bisa beda dengan pimpinan.  Bila pimpinan lebih mengacu posisi struktur atau tingkatan diatas/hirarki, maka pemimpin tidak selalu merujuk pada posisi, tingkatan atau kedudukan serta aturan formal dalam organisasi. Pemimpin lebih kepada fungsi yang dilakukan oleh seseorang dalam perbuatan atau tindakannya (aksi dan visi). Jadi setiap orang bisa menjadi pemimpin, namun tidak semua orang bisa jadi pimpinan. 
Pemimpin juga beda dengan manajer. Banyak orang yang menyamakan (mempersepsikan) manajer dengan pemimpin. Apa bedanya? Beberapa pakar dan pemikir manajemen dan kepemimpinan membedakannya dengan penjelasannya dalam bahasa Inggris : Manager is doing things right, however leader is doing right things. Jelas bukan bedanya?  Keterkaitannya adalah  kepemimpinan merupakan inti dari manajemen sedangkan manajemen inti dari administrasi

Usaha memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan pribadi, sering orang menunjukkan perilaku yang seolah-olah bersifat individualistis, bahkan mungkin nampak egosentris. Tetapi perlu disadari bahwa perilaku demikian tidak selalu otomatis bersifat destruktif dan berakibat negatif bagi pembinaan kerjasama yang serasi, tetapi merupakan seni bagi seorang pemimpin dalam memberikan bimbingan dorongan serta arahan yang kesemuanya melalui proses komunikasi yang terarah dan berencana serta sistematis tanpa melupakan nilai manusiawi. Keberhasilan seorang pemimpin juga ditentukan oleh kemampuan dan sifat-sifat atau karakteristik pribadi pemimpin, yang disebut oleh banyak orang sebagai ‘bakat kepemimpinan’. Akan tetapi, ‘bakat’ itu juga harus dibina dan dikembangkan, terutama dengan nilai-nilai etis, agar kepemimpinan tidak melenceng dan hanya membawakan ketidak-sejahteraan bagi yang dipimpin (baca : anggota, organisasi, atau masyarakat).

Secara umum gaya kepemimpinan secara esensial memfokuskan diri pada dua gaya yaitu gaya kepemimpinan yang berorientasi pada tugas (task orientation) dan gaya kepemimpinan yang berorientasi kepada pekerja (employ orientation). Perilaku kepemimpinan sangat beragam dari satu situasi ke situasi yang lain. Secara umum kelompok besar mempunyai tuntutan lebih banyak dan lebih beragam dibanding dengan apa yang dilakukan oleh kelompok kecil. Pada umumnya pemimpin dalam kelompok besar cenderung bersifat kurang memperhatikan hal-hal yang bersifat pribadi dan kurang tegas dalam memperlakukan peraturan dan kekuasaan. Sebaliknya dalam kelompok kecil pemimpin memberikan perhatian pada hal-hal yang bersifat pribadi terhadap kelompok kerja dan memperlakukan anggota kelompok menurut kemampuan dan kebutuhannya sebagai individu.

Para dasarnya gaya kepemimpinan ini sama dengan kepemimpinan Managerial Grid, yaitu ada empat gaya dasar, kemudian akan menjadi delapan gaya kepemimpinan. Kedelapan gaya tersebut adalah :
1.       Gaya dasar integrated dengan tugas tinggi, hubungan tinggi, akan menjadi gaya executive bila diekspresikan dalam situasi yang efektif. Tandanya ialah memenuhi kebutuhan kelompok dalam menetapkan tujuan dan bagaimana mencapainya, memperhatikan hubungan dalam kelompok. Kelompok menjadi kohesif dan bekerja keras. Bila tidak efektif, maka akan menjadi gaya compromiser yang ditandai dengan selalu memecahkan masalah dengan mengadakan kompromi antara tugas dan hubungan, sehingga tidak berorientasi pada hasil yang dicapai.
2.       Gaya separated, yaitu tugas tinggi dan hubungan rendah. Apabila efektif akan menjadi gaya bureucrat yakni mendelegasikan wewenang pada bawahan untuk mengarnbil keputusan tentang apa yang perlu dikerjakan. Apabila tidak efektif akan menjadi gaya deserted yaitu tidak memberikan struktur jelas dan dukungan moral pada waktu yang diperlukan.
3.       Gaya related, yaitu hubungan tinggi dan tugas rendah. Gaya ini menjadi-efektif bila menjadi gaya developer yaitu percaya kepada anggota stafnya dan memberikan kemudahan untuk berkembangnya anggota staf dalam usaha mencapai tujuan organisasi. Bila tidak efektif maka akan menjadi gaya missionary yaitu hanya tertarik pada adanya harmoni, dan kadang-kadang tidak bersedia mengorbankan hubungan meskipun tujuan tidak tercapai.
4.       Gaya dasar dedicated yaitu tugas tinggi dan hubungan rendah. Gaya ini bila efektif akan menjadi gaya benevolent autocrat yaitu mempunyai tata kerja yang berstruktur, tetapi jelas tugas untuk bawahan. Bila tidak efektif akan menjadi gaya autocrat yaitu semua kebijakan ditetapkan sendiri tanpa memperdulikan bawahan.




Sehubungan dengan tingkat kematangan bawahan yang dihubungkan dengan perilaku pimpinan dalam menggerakan bawahan ini mengemukakan empat upaya kepemimpinan efektif seperti terlihat pada gambar di atas, adalah sebagai berikut:
-          Pertama, Telling (S 1) yaitu perilaku pimpinan dengan tugas tinggi dan hubungan rendah. Gaya mempunyai hubungan satu arah. Pemimpin membatasi peranannya dan menginstruksikan bawahan tentang apa, bagaimana, bilamana, dan di mana hares melakukan sesuatu tugas tertentu. Pemimpin juga memberikan pengarahan yang jelas dan spesifik. Gaya ini sesuai dengan level kematangan yang rendah atau orang yang tidak mampu dan mau (MI).

-          Kedua, Selling (S2) yaitu perilaku tugas tinggi dan hubungan tinggi. Pimpinan masih banyak memberikan pengarahan dan memberikan dukungan dalam keputusan melalui komunikasi dua arah. Gaya ini sesuai dengan tingkat kematangan rendah ke sedang (M2) orang yang tidak mampu berkeinginan untuk memikul tanggung jawab memiliki keyakinan tetapi kurang memiliki keterampilan.
                               
-          Ketiga, Partisipasi (S3) adalah perilaku hubungan rendah dan tugas rendah. Pemimpin dan bawahan saling tukar menukar ide dalam pembuatan keputusan melalui komunikasi dua arah, dan yang dipimpin cukup mampu serta berpengetahuan untuk melaksanakan tugas yang dibebankan kepada bawahan. Gaya kepemimpinan ini sesuai dengan tingkat kematangan dari sedang ke tinggi (M3). Orang-orang pada tingkat perkembangan ini memiliki kemampanan, tetapi tidak berkeinginan untuk melakukan suatu tugas yang dibebankan. Ketidakmampuan mereka sering kali disebabkan karena kurangnya keyakinan.

-          Keempat, Delegasi (S4) yaitu perilaku hubungan rendah dan tugas rendah. Pemimpin melakukan seperti ini karena bawahan telah memiliki kematangan yang tinggi, baik dalam melaksanakan tugas maupun matang secara psikologis. Kegiatan ini melibatkan bawahan untuk melaksanakan tugas sendiri melalui pendelegasian dan supervisi yang bersifat umum. Gaya ini sesuai dengan tingkat kematangan yang tinggi (M4). Orang-orang yang mampu dan mau atau mempunyai keyakinan untuk memikul tanggung jawab. Dengan demikian gaya delegasi ini berprofil rendah. Yang memberikan sedikit pengarahan atau dukungan memiliki tingkat kemungkinan efektif yang paling tinggi dengan individu dalam tingkat kematangan seperti ini.

Pemimpin Yang baik adalah pemimpin yang  mau berkorban
tanpa mengharapkan pamrih dan juga balas jasa.


*Pahlawarni Girsang, dari berbagai sumber.






Oseanografi



Oseanografi (gabungan kata Yunani ωκεανός yang berarti "samudra" danγράφω yang berarti "menulis"), juga disebut oseanologi atau ilmu kelautan, adalah cabang ilmu Bumi yang mempelajari samudra atau lautan. Ilmu ini mencakup berbagai topik seperti organisme laut dan dinamika ekosistem; arus samudra, gelombang, dan dinamika cairan geofisika; tektonik lempeng dan geologi dasar laut, dan arus berbagai zat kimia dan fisika di dalam lautan dan perbatasannya. Topik-topik yang beragam ini menggambarkan berbagai macam disiplin ilmu yang digabungkan para oseanograf untuk mempelajari lautan dunia dan memahami proses di dalamnya, yaitu biologi, kimia,meteorologi, fisika, dan geografi.

Oseanografi adalah ilmu yang mempelajari fenomena fisis dan dinamis air laut yang dapat diaplikasikan ke bidang-bidang lainnya seperti rekayasa, lingkungan, perikanan, bencana laut dan mitigasi (pengelolaan dan pencegahan). Seperti telah kita ketahui bersama, lebih dari 62% kepulauan Indonesia terdiri dari lautan, dan hampir 70% bagian dari dunia juga adalah lautan. Dapat teman-teman bayangkan betapa luasnya lahan pekerjaan dan kesempatan untuk berkarya bagi seorang sarjana Oseanografi.

Dalam bahasa lain yang lebih lengkap, oseanografi dapat diartikan sebagai studi dan penjelajahan (eksplorasi) ilmiah mengenai laut. Laut sendiri adalah bagian dari hidrosfer. Seperti diketahui bahwa bumi terdiri dari bagian padat yang disebut litosfer, bagian cair yang disebut hidrosfer dan bagian gas yang disebut atmosfer. Sementara itu bagian yang berkaitan dengan sistemekologi seluruh makhluk hidup penghuni planet Bumi dikelompokkan ke dalam biosfer. dan segala fenomenanya.

Para ahli oseanografi mempelajari berbagai topik, termasuk organisme laut dan dinamika ekosistem; arus samudera, ombak, dan dinamika fluida geofisika; tektonik lempeng dan geologi dasar laut; dan aliran berbagai zat kimia dan sifat fisik didalam samudera dan pada batas-batasnya. Topik beragam ini menunjukkan berbagai disiplin yang digabungkan oleh ahli oceanografi untuk memperluas pengetahuan mengenai samudera dan memahami proses di dalamnya: biologi, kimia, geologi, meteorologi, dan fisika.

Beberapa sumber lain berpendapat bahwa ada perbedaan mendasar yang membedakan antara oseanografi dan oseanologi. Oseanologi terdiri dari dua kata (dalam bahasa Yunani) yaitu oceanos (laut) dan logos (ilmu) yang secara sederhana dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang laut. Dalam arti yang lebih lengkap, oseanologi adalah studi ilmiah mengenai laut dengan cara menerapkan ilmu-ilmu pengetahuan tradisional seperti fisika, kimia, matematika, dan lain-lain ke dalam segala aspek mengenai laut.


Empat cabang ilmu oceanografi

1. Fisika oseanografi : pokok bahasan pada hubungan antara fifika yang terjadi di lautan dan yang terjadi antara lautan -- atmosfer dan daratan
Proses pasang surut
Gelombang
Sistim arus

2. Geologi oseanografi : ilmu geologi penting sekali dalam mempelajari asal lautan yang telah berubah lebih dari berjuta juta tahun yang lalu.

3. Kimia Oseanografi : ilmu ini membahas reaksi kimia yang terjadi di dalam dan di
dasar lautan dan juga menganalisa sifat-sifat kimia dari air laut

4. Biologi Oseanografi : disebut juga biologi laut, : pokok bahasannya pada organisme yang hidup di lautan.


Jalesveva Jayamahe,
Dilaut kita jaya, Didarat kita Buaya :)

Dari berbagai Sumber


SEJARAH GMKI











I. PENDAHULUAN

Sejarah Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) adalah rentetan peristiwa yang dialami oleh GMKI. Sejarah itu menggambarkan suka-duka perjalanan GMKI dalam mewujudkan tugas dan panggilannya. Sejarah perlu dipelajari karena 3 (tiga) alasan: pertama, melalui sejarah kita menemukan motivasi dasar dan cita-cita yang mengilhami para pendahulu untuk membntuk GMKI; kedua, melalui sejarah juga kita memperoleh nilai-nilai kejuangan para pendahulu; dan ketiga, dengan mempelajari sejarah, akan terpola pemahaman yang benar tentang GMKI dan perjuangannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan bergereja.

Salah satu nilai penting lain yang dapat kita petik dari sejarah GMKI adalah karakter dwi-watak GMKI yang sangat khas karena berupaya untuk memilih secara kreatif dan dinamis antara oikumenisme dan nasionalisme. Kedua aspek ini tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan ber-GMKI, dari waktu ke waktu. Keduanya, seolah dihubungkan oleh seutas benang biru yang walaupun sangat halus (kadang-kadang tidak kelihatan), namun amat kokoh. Hal tersebut terlihat jelas pada sejarah GMKI, dimana selain berdoa dan berdiskusi tentang Firman Tuhan (PA), juga tidak lupa para mahasiswa secara bahu membahu membantu perjuangan fisik bangsa. Sebagai contoh, sebagaimana hasil dialog antara Alex F. Litaay dengan Mr. Tine A. L. Franz, seorang Ibu yang banyak memberi andil dalam sejarah CSV op Java, PMKI, dan GMKI. Beliau menggambarkan bahwa setiap minggu ketiga Februari, satu per satu anggota PMKI menuju ke Jln. Pegangsaan Timur No. 27 (sekarang STT Jakarta) untuk bersekutu dan berdoa secara bersama-sama dalam acara Hari Doa Mahasiswa Se-Dunia atau HDMS (The Universal Day of Prayer for Students). Walau demikian, mereka tetap menggunakan lencana merah putih di dada, sebagai simbol kebanggaan dan wujud komitmen terhadap perjuangan bangsa, agar tetap berjuang di fron-fron pertempuran ketika berlangsung revolusi fisik.

Mempelajari sejarah bukan sekedar bernostalgia terhadap peristiwa masa lalu, tetapi dalam rangka menangkap visi dan misinya. Dengan belajar dari sejarah, kita diharapkan dapat melanjutkan perjuangan para pendahulu (founding fathers) secara optimal dan mengetahui ke arah mana seharusnya biduk GMKI diarahkan dan/atau bergerak.

II. PERIODISASI HISTORIS
Periodisasi dalam kehadiran (presensia) GMKI dapat dibagi dalam 3 (tiga) kurun waktu, yakni: 1) Christelijke Vereeniging Studenten op Java/CSV op Java (1932-1942); 2) Perhimpunan Mahasiswa Kristen Indonesia/PMKI (1945-1950) dan CSV yang baru (1946-1950); dan 3) GMKI (1950-sampai sekarang).

1. CSV op Java (1932-1942)
GMKI berdiri pada tanggal 9 Februari 1950, namun cikal bakal GMKI, yaitu Christelijke Vereeniging Studenten op Java (CSV op Java), telah ada jauh sebelumnya, yaitu sejak 28 Desember 1932 di Kaliurang, Yogyakarta. Berdirinya CSV op Java ini tidak dapat dipisahkan peranan dari Ir. C. L. van Doorn, seorang ahli kehutanan tetapi yang juga mempelajari aspek sosial ekonomi (khusunya pertanian) dan memperoleh gelar doktor di bidang ekonomi dan dominee di bidang teologia.
Aktivis CSV Nederland tersebut tiba di Batavia (Jakarta) pada tahun 1921. Akan tetapi, mengingat informasi dan kondisi mengenai Jawa belum dipahami secara baik, maka beliau dianjurkan untuk mempelajarinya, sebelum bertindak. Untuk maksud tersebut, beliau bekerja selama 3 (tiga) tahun di Kantor Volksrediet Purworejo sehingga pengetahuannya mengenai aspek sosial, ekonomi, dan budaya semakin berkembang. Bahkan, beliau pernah melakukan sebuah riset/penelitian dengan topik: Sketsa tentang Perkembangan Ekonomi di Afdeiling Purworejo. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sejak semula, para pendiri CSV op Java cukup memahami situasi sebenarnya dari masyarakat Indonesia, khususnya di P. Jawa sebagai embrio bagi perkembangan GMKI hingga saat ini.

Tahun 1910-1924, berdirilah Sekolah Dokter (STOVIA) di Batavia. Perguruan tinggi lainnya berdiri di Bandung, Bogor, dan Surabaya. Tahun 1924, terbentuklah Batavia CSV sebagai cabang pertama CSV. Kurun waktu 1925-1927, mahasiswa di Surabaya yang berkumpul dalam Jong Indie dan mulai aktif melakukan PA. Kelompok ini, bersama-sama dengan Batavia CSV, mengadakan Konperensi di Kaliurang pada Desember 1932, yang mengeluarkan Pernyataan Pembentukan CSV op Java sebagai berikut:
Kami wakil-wakil dari Batavia CSV, Surabaya CSV, dan sekelompok mahasiswa Meefdacte Batavia, yang berkumpul pada Konperensi Pemuda ke7 di Kaliurang (Yogyakarta), bersama-sama dengan beberapa orang mahasiswa kristen Bandung, telah sepakat untuk membentuk suatu CSV gabungan, yaitu Christelijke Vereeniging Studenten op Java. Dengan mendirikan CSV ini, kami bermaksud menyatakan diri dengan CSV-CSV lainnya di seluruh dunia yang tergabung dalam World Student Christian Federation (WSCF), untuk bersama-sama bersaksi tentang Yesus Kristus di kalangan dunia kemahasiswaan. Adalah tujuan jujur kami untuk menjunjung moto WSCF, Ut omnes unum sint, di kalangan organisasi kami demi menyatukan para mahasiswa dari perlbagai suku bangsa di sini. Kami yakin bahwa usaha awal kami ini kecil dan lemah, namun kami bertekad melaksanakan pekerjaan ini dengan keyakinan yang sama teguhnya bahwa Tuhan akan menguatkan kami.

Peristiwa penting lainnya yang berkaitan dengan lahirnya CSV op Java adalah dengan kehadiran Dr. John R. Mott (alm) pada tahun 1926 di Jakarta. Beliau merupakan tokoh pendiri WSCF (federasi mahasiswa kristen se-dunia), yang didirikan pada Agustus 1885, melalui satu pertemuan antara mahasiswa kristen Eropa dan Amerika di istana kuno Vedstena, di tepi danau Wettern, Swedia. WSCF merupakan embrio bagi gerakan oikumene ke seluruh dunia. Kedatangan beliau di Indonesia juga merupakan tonggak sejarah amat penting bagi GMKI di Indonesia. Walau masih dalam usia muda, CSV op Java menjadi tuan rumah pelaksanaan Konperensi GMK-GMK se-Asia pada tahun 1933 di Citeureup. Konperensi ini sendiri dinamakan Konperensi Citeureup dan pada Konpoerensi inilah CSV op Java diterima sebagai Corresponding Member oleh WSCF. 

Keanggotaan WSCF sendiri terdiri dari: 
1) Pioneering Movement (gerakan-gerakan yang baru dimulai); 
2) Corresponding Movement (gerakan-gerakan yang sudah stabil dan organisasinya rapi terstruktur tetapi belum memenuhi syarat untuk menjadi anggota resmi Federasi; dan
3) Affiliated Movement/Full Member (gerakan-gerakan yang sudah memenuhi segala persyaratan yang ditetapkan Federasi).

Jumlah anggota CSV op Java dalam kurun waktu 1930-an sekitar 90-an orang dan cabang-cabangnyapun hanya baru ada di kota-kota perguruan tinggi di Jawa (Jakarta, Bogor, Bandung, dan Surabaya). Sekalipun kecil dan lemah, CSV op Java berhasil meletakkan dasar bagi pembinaan mahasiswa kristen yang kemudian dilanjutkan oleh GMKI (PMKI dan CSV yang baru).

Masuknya Jepang ke Indonesia (1942), mengakhiri eksistensi CSV op Java secara struktural dan organisatoris karena Pemerintah Pendudukan Jepang melarang sama sekali kegiatan-kegiatan organisasi yang dibentuk pada zaman Hindia Belanda. Secara praktis, CSV op Java tidak lagi ada sejak tahun 1942. 
Akan tetapi, dua aspek penting yang menjadi dasar bagi perkembangan kehidupan organisasi mahasiswa kristen selanjutnya, yang biasa disebut benang biru sejarah adalah:
1) mulai ada kerjasam dengan GMK-GMK se-Asia; dan 
2) makin meningkatnya semangat persatuan nasional.

Sepanjang sejarahnya, CSV op Java dipimpin oleh Ketua Umum Dr. J. Leimena (1932-1936) dan (1939-1942) dan Mr. Khow (1936-1939) dengan Sekretaris (full time) dijalankan oleh Ir. C. L. van Doorn (1932-1936) dan Sutjipto (1936-1942).

2. PMKI dan CSV yang baru (Masa Revolusi Kemerdekaan RI/1945)
Sejumlah mahasiswa kedokteran dan hukum di Jakarta memutuskan untuk membentuk suatu organisasi mahasiswa kristen untuk menggantiakn CSV op Java yang sudak tidak ada lagi/dibubarkan. Dalam suatu pertemuan di STT Jakarta pada tahun 1945, dibentuklah PMKI sebagai Pengurus Pusat sehingga Dr. J. Leimena tetap dipilih sebagai Ketua Umum dan dr. O. E. Engelen sebagai Sekretaris Jenderal. Akan tetapi, karena Leimena sibuk dengan tugas sebagai Menteri Muda Kesehatan, maka tugasnya diserahkan kepada dr, Engelen. Setelah itu, PMKI cabang Bandung, Bogor, Surabaya, dan Yogyakarta (ketika UGM berdiri) segera menyusul.

Kegiatan-kegiatan PMKI sebenarnya tidak terlalu berbeda dengan CSV op Java dimana penelaahan Alkitab merupakan salah satu intinya. Keanggotaan PMKI sebagian besar adalah mahasiswa yang memihak kepada perjuangan kemerdekaan. Hal ini merupakan warisan dari CSV op Java. Tidak lama setelah PMKI lahir, maka di awal tahun 1946, muncul suatu organisasi baru yang menggunakan nama CSV dengan cabang-cabang di Bogor, Bandung, dan Surabaya. CSV yang baru ini sebenarnya bukan merupakan tandingan PMKI, hanya saja, CSV ini lebih berorientasi kepada Pemerintah Pendudukan Belanda.

3. GMKI Melanjutkan Misi dan Eksistensi
a. Masa Perkembangan (1950-1960)
Dengan berakhirnya pertikaian bersenjata antara Indonesia dan Belanda di akhir tahun 1949, maka berakhir pula pertentangan antara PMKI dan CSV yang baru. Pada tanggal 9 Februari 1950, dalam sebuah pertemuan di rumah Dr. J. Leimena (Jln. Teuku Umar 36, Jakarta), lahir kesepakatan untuk meleburkan PMKI dan CSVyang baru dalam suatu organisasi yang dinamakan Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia, yang disingkat GMKI. Disepakati pula bahwa untuk sementara waktu, Dr. J. Leimena diangkat sebagai Ketua Umum sampai diadakannya suatu kongres. Lalu, diselenggarakanlah Kongres I di Sukabumi pada Desember 1950, yang berhasil memilih:
1) Ketua Umum: dr. J. E. Siregar; 
2) Penulis Umum: Nn. Mr. Tine A. L. Frans; dan 
3) Bendahara: W. Makaliwy.

Pada Masa Perkembangan (beberapa dokumen menyebutkan Masa Pertumbuhan) ini telah berlangsung beberapa Kongres. Kongres I ini, dibahas tentang program Umum GMKI, yakni bagaimana pelayanan yang efektif terhadap anggota sebagai unit terkecil dari organisasi, terutama dengan menyelenggarakan kegiatan-kegiatan PA agar mereka dimampukan untuk menjadi Saksi Kristus dalam dunia mahasiswa Indonesia. Sejarah juga mencatat bahwa pada tahun ini, tepatnya tanggal 22 Mei 1950, terbentuklah Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI) yang dipelopori oleh tokoh-tokoh yang sebelumnya dibina oleh GMKI, ketika masih bernama CSV atau PMKI, seperti dr. J. Leimena, E. Tunggul Sihombing, Dr. Abineno, Dr. Marantika, dan lain-lain. Penyatuan gereja-gereja memang merupakan suatu cita-cita konstan GMKI.

Pada Periode Awal ini, GMKI baru memiliki 5 (lima) cabang dengan anggota berjumlah 481 orang, dengan rincian masing-masing sebagai berikut: Jakarta (181 orang), Bandung (187 orang), Yogyakarta (40 orang), Surabaya (64 orang), dan Makassar (9 orang). Kelima cabang ini kemudian melaksanakan Kongres II pada Oktober 1952 juga di Sukabumi. Kongres ini sangat bermakna penting dan stratejis karena: 
1) berhasil disusun Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART); dan 
2) mulai ditetapkan tema-tema untuk setiap kongres. 
Kongres II berhasil menyusun Pengurus untuk masa kerja 2 (dua) tahun (1952-1953) sebagai berikut: 
1) Ketua Umum: dr. J. E. Siregar; 
2) Penulis Umum: Nn. Mr. Tine A. L. Frans; dan 
3) Bendahara: Dr. S. C. Nainggolan.

Pada tahun 1951, diadakan Kursus Kader Internasional yang pertama kali di Jogjakarta, dengan negara peserta: Birma, Muangthai, Philipina, India, Srilangka, Jepang, Amerika, Australia, Indonesia, dan dari WSCF sendiri. Wakil Indonesia antara lain: dr. J. E. Siregar, Nn. Tine A. L. Franz, Chr. A. Kitting, L. Radja Haba, dan Nn. D. A. Tamaela. Hasil konkrit dari kursus ini adalah dengan bekerjanya C. I. Itty, MA, sebagai Sekretaris keliling, yang mengunjungi cabang-cabang GMKI di tanah air.
Kongres II juga berlangsung di Sukabumi pada tahun 1952. Masalah utama yang dugumuli adalah program pelayanan anggota, juga merupakan lampu kuning bagi setiap anggota GMKI agar tidak tenggelam dalam multiaktivitas tanpa dibarengi dengan kehidupan rohani yang matang. Iman tanpa ilmu pengetahun adalah buta dan ilmu pengetahu tanpa iman adalah lumpuh, demikian antara lain yang disampaikan oleh J. Leimena, bahkan berulang-ulang kali diucapkan sebagai warning. Dalam Kongres ini juga ditetapkan antara lain: GMKI berdasarkan Kitab Kudus yang menyaksikan Yesus Kristus adalah Allah dan Juruselamat, dan ditetapkan bahwa tanggal 9 Februari 1950 sebagai hari berdirinya GMKI.

Kongres III berlangsung di Yogyakarta pada tahun 1953. Pada tahun yang sama, berdirilah cabang GMKI Bogor dan Medan sehingga jumlah seluruh anggota meningkat menjadi 1099 orang (untuk ketujuh cabang). Pada tahun yang sama, GMKI melalui General Assembly WSCF di Nasrapur, India, resmi menjadi Affiliated Movement/Full Member WSCF.
Selanjutnya, Kongres IV berlangsung di Surabaya Tahun 1954, Kongres V di Bandung Tahun 1955, dan Kongres VII di Kalimantan Tahun 1959, dimana keputusan yang diambil masih bersifat umum, yakni menyangkut pergumulan GMKI di medan layannya..

Kongres VI berlangsung di Sukabumi pada tahun 1956, yang menggumuli tentang:
1) Esistensi GMKI dan identitasnya agar tetap independen dan tidak tergoda untuk bernaung di bawah salah satu kekuatan partai politik. Masalah ini juga berkembang sampai tahun 1960-an, dimana banyak orang memvonis bahwa GMKI merupakan onderbouw Parkindo (Partai Kristen Indonesia). Hal ini jelas keliru! Memang keduanya mempunyai dasar yang sama, yaitu Alkitab, tetapi, GMKI bukanlah organisasi politik! Kehadiran anggota-anggota atau bekas anggota GMKI dalam Parkindo, bukanlah kebijaksanaan resmi atau restu ataupun rekomendasi GMKI. Hal ini juga berlaku sampai sekarang. 
2) Kongres VI ini juga melakukan perubahan AD/ART GMKI, dimana Pengurus Umum dipilih untuk masa bakti 2 (dua) tahun.

Hingga tahun 1960, boleh dibilang bahwa GMKI memang mengalami masa perkembangan, baik dalam hal penataan organisasi maupun dalam siklus dan kalender konstitusi organisasi. Sebagai contoh, pada IV di Prigen, Surabaya, telah dilaksanakan Konperensi Studi mengawali Kongres.

b. Masa Konsolidasi (1960-1970)
Konperensi Studi dan Kongres Nasional (KKN) VIII pada Juli 1961 berlangsung di Surabaya, yang merupakan Kongres pertama pada dekade 1960-an, yang dikenal sebagai Masa Konsolidasi. (cf: dekade 1950-an disebut Masa Pertumbuhan). Di sekitar periode ini dapat dicatat bahwa atas inisiatif GMKI, telah disepakati agar dua organisasi pemuda kristen yang selalu berseteru, yakni PPKI (Persatuan Pemuda Kristen Indonesia) dan MPKO (Majelis Pemuda Kristen Oikumene) untuk meleburkan menjadi satu organisasi. Cita-ciat ini akhirnya tercapai pada tanggal 23 April 1962, dimana GAMKI (Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia) berdiri, sebagai fusi dari kedua organisasi di atas.

Kongres VIII telah membawa GMKI memasuki kehidupan baru dimana aspek konsolidasi organisasi mulai hangat didiskusikan. Kongres ini juga berhasil mengubah struktur secara besar-besaran dan mulailah berlaku AD/ART yang baru. GMKI yang sebelumnya dipimpin secara desentralisasi oleh Pengurus Umum (PU), selanjutnya diatur secara sentralisasi oleh Pengurus Pusat (PP). Sebelumnya, PU lebih banyak merupakan federasi dari organisasi di kota-kota PT. Selain itu, mulailah dilakukan pembagian Daerah Regional Cabang, Perumusan Pola Pelayanan, Garis Panggilan Umum, dan Pembentukan Cabang-cabang yang Baru (tendensi organisasi semakin berkembang).

Kongres IX berlangsung di Pematang Siantar tahun 1963. Kongres X berlangsung di Manado tahun 1965. Pada Kongres ini, GMKI menyatakan dirinya sebagai anak kandung Gereja dalam Revolusi Indonesia dan sebagai organisasi kader dan bukan ormas (organisasi massa). Hal ini berarti bahwa sikap dan tindakan GMKI diidentikkan dengan Gereja. Sebagai implikasi logisnya, pembinaan anggota diarahkan untuk menjadi kader yang mampu dan berkualitas sehingga dapat menjawab tantangan di atas. Pemahaman visi dan misi Gerakan oleh para kader, mutlak diperlukan.

Kongres XI di Makale, Tana Toraja pada tahun 1967, mencatat hal-hal yang menggembirakan dari aspek perkembangan organisasi, dimana sudah terdapat 72 cabang GMKI di seluruh tanah air, yang dibagi ke dalam 12 daerah pelayanan yang dikoordinasi oleh Koordiantor Daerah (Korda). Pada Kongres ini, GMKI merasa terpanggil untuk meningkatkan peranserta bagi pelayanan dan kesaksian dalam usaha membina kader baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kongres ini bermakna penting sebab merupakan Kongres pertama sejak bangsa dan negara bersama rakyat berhasil menumpas Pemberontakan G-30-S/PKI.
Secara intern organisasi, memang diakui bahwa peristiwa ini menimbulkan polarisasi dalam tubuh GMKI. Sebagai contoh, penyusutan jumlah cabang di tahun 1960-an sebanyak ± 90 cabang, yang hadir di Kongres XII di Kupang-Timor tahun 1970, hanya 32 cabang. Banyak cabang yang nonaktif sejak tahun 1966, terutama karena dilakukannya pembenahan sistem pendidikan tinggi oleh Pemerintah sehingga PT yang belum mapan dan statusnya kurang jelas, ditutup. Selain itu, timbulnya apatisme di kalangan mahasiswa sehingga banyak yang enggan masuk organisasi-organisasi ekstrauniversiter.

Selama Masa Konsolidasi, GMKI mengalami perubahan yang sangat pesat, yang dipengaruhi oleh perkembangan situasi politik, sosial, dan ekonomi di Indonesia. Pengalaman dari kongres ke kongres telah membawa GMKI kepada suatu pernyataan yang dicetuskan pada Kongres XII di Kupang pada tahun 1970, yakni: Here Am I, Send Me. Keputusan Kongres XII menuntut agar GMKI harus menegaskan posisi teologis sebagai gereja yang fungsional di PT.

c. Masa Pengutusan (1970-sekarang)
Masa Pengutusan ini dapat ditelaah dari 2 (dua) aspek penting, yaitu interen organisasi dan eksteren organisasi. Aspek interen organisasi yang perlu dicermati dan disimak, antara lain:

1) Bidang Organisasi; dilakukan pembenahan cabang-cabang termasuk evaluasi terhadap yang tidak lagi berfungsi bahkan ada beberapa cabang yang dibubarkan. Di lain pihak, terbentuk cabang-cabang baru di kota-kota perguruan tinggi yang dianggap stratejis. Hingga memasuki Kongres XXX yang akan diselenggarakan di Kupang, 5-12 November 2006, tercatat sekitar 71 cabang GMKI (jumlah yang hampir sama tatkala memasuki Kongres XII di Kupang pada tahun 1970 atau 36 tahun kemudian), selain beberapa calon dan bakal calon cabang yang sedang diproses oleh Pengurus Pusat Masa Bakti 2004-2006;

2) Bidang Kaderisasi: Kongres XV di Palembang tahun 1976, telah memutuskan sesuatu yang sangat berharga dan penting bagi eksistensi GMKI ke depan, yaitu dipandang perlu membentuk suatu lembaga yang akan menjnjang pengkaderan GMKI. Lembaga tersebut direkomendasikan kepada Pengurus Pusat dengan nama Lembaga Penelitian dan Pengembangan Kader (LPPK) GMKI. Lima tahun kemudian (1981), melalui seminar nasional pendidikan kader di Salatiga, dirumuskanlah Pola Dasar Sistem Pendidikan Kader (PDSPK) GMKI. PDSPK ini berlaku untuk 10 tahun ke depan barulah dievaluasi. Sesudah 10 tahun (1981-1991), oleh Pengurus Pusat GMKI Masa Bakti 1990-1992, meaksanakan Lokakarya Sistem Pendidikan Kader GMKI di Salatiga, 17-22 Maret 1992. Produk ini, kemudian oleh Pengurus Pusat GMKI Masa Bakti 1992-1994 bersama Yayasan Bina Darma (lembaga yang dibentuk oleh Universitas Kristen Satya Wacana dan GMKI) kembali melaksanakan Konsultasi Nasional dan Lokakarya PDSPK pada 14-17 Maret 1994 di Kampus Bina Darma Salatiga, dimana produk Lokakarya tersebut dijadikan sebagai materi dasar Pendidikan Kader GMKI yang selanjutnya dilaporkan pada Kongres XXIV di Pekanbaru. Akhirnya, Kongres ini berhasil mensahkan produk Lokakarya menjadi PDSPK GMKI 1994-2004. Sebab itu, dalam KKN (Konperensi Studi dan Kongres Nasional) GMKI di Jogjakarta tahun 1974, GMKI mulai memikirkan cara-cara baru dalam rangka pendidikan kader. Pada tahun 1975, diadakan Seminar Pendidikan Kader GMKI di Salatiga, kemudian hasilnya dilaporkan dalam KKN 1976, yang selanjutnya menganjurkan agar dibentuk badan yang permanen untuk menagani kaderisasi. 

Hasilnya antara lain:
a) Terbentuknya YBD (Yayasan Bina Darma) yang merupakan wujud kerjasama antara GMKI dan UKSW (Universitas Kristen Satya Wacana) Salatiga, setelah melalui rembukan dan konsultasi yang intens, untuk mewujudkan Keputusan KKN 1976.
b) Selanjutnya, dengan dimotori oleh YBD, dilakukanlah lokakarya untuk mencari bentuk-bentuk yang cocok untuk GMKI. Pada Lokakarya Nasional GMKI Tahun 1981, berhasil dirumuskan Pola Dasar Pendidikan Kader GMKI, yang populer dengan nama Pola Dasar  sebagiaman telah dijelaskan sebelumnya.

3) Aspek Konstitusi: satu hal penting yang berhubungan dengan kehidupan konstitusi adalah adanya perubahan AD/ART GMKI pada Kongres XX di Palangkaraya, yang merupakan kelanjutan dari rekomendasi Kongres XIX di Salatiga, terutama yang berhubungan dengan hadirnya UU Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi kemasyarakatan, dimana semua organisasi harus mencantumkan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat, dalam AD/ART. GMKI mematuhi amaat UU ini dengan mengubah bunyi Pasal 2 AD GMKI, yang sebelumnya adalah berdasarkan Alkitab. Ini tidak berarti GMKI telah mengaburkan identitasnya sebagai organisasi yang bersifat gerejawi. Secara taktis, GMKI memindahkan rumusan Pasal 2 AD ke dalam Pembukaan, yang dipandang sebagai sumber inspirasi dan sumber motivasi bagi jiwa dan langgam kerjanya dan sumber rujukan bagi penyusunan batang tubuh AD/ART.

Bagi GMKI, Pancasila bukan barang baru, sebab pada Musyawarah Ketua-ketua Cabang (Musketcab) pada era 1950-an, GMKI telah menetapkan Pancasila sebagai temanya. Pancasila juga telah menjadi sumber inspirasi dan sumber motivasi/rujukan bagi aturan organisasi karena termuat secara jelas dalam Penjelasan Pembukaan/Mukaddimah AD GMKI.

Sebuah AD/ART ideal adalah yang mampu beradaptasi terhadap berbagai perubahan-perubahan yang terjadi baik dari sisi internal maupun eksternal. Jika kita memperhatikan AD/ART GMKI, maka sejak tahun 1986 hingga tahun 2004, sekitar 18 tahun, tidak lagi dilakukan perubahan-perubahan. Muncul pertanyaan-pertanyaan sederhana: 1) Apakah itu pertanda bahwa AD/ART GMKI begitu luwes/fleksibel dan kenyal sehingga mampu beradaptasi dengan situasi apapun?; 2) Apakah kita menganggap begitu sakral AD/ART kita sehingga ia tidak boleh “disentuh?”; 3) Ataukah kita termasuk kategori sivitas organisasi yang tidak peduli pada aturan permainan atau aturan dasar organisasi padahal ia sangat menentukan sepak terjang dan langgam kerja kita?; dan masih apakah-apakah yang lain yang dapat kita rumuskan secara sendiri dan spesifik.

Untuk Eksteren Organisasi, beberapa hal yang perlu dicatat adalah sebagai berikut: 1) GMKI bersama organisasi ekstrauniversiter lainnya (HMI, PMII, PMKRI, dan GMNI) pada tanggal 22 Januari 1972, membentuk Kelompok Cipayung (sesuai keputusan Kongres yang menyambut baik keterlibatan GMKI di Kelompok Cipayung), sebagai forum komunikasi antara organisasi ekstrauniversiter. Pada awalnya, Kelompok ini melaksanakan diskusi yang bertemakan: Indonesia Yang Dicita-citakan. Selama kelompok ini ada, hasil dialog mereka merupakan sumbangan pemikiran yang penting bagi kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat; dan 2) pada tanggal 23 Juli 1973, GMKI turut membidani lahirnya Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), yang merupakan wadah berhimpun bagi seluruh pemuda Indonesia. Ide dasarnya tidak jauh berbeda dengan pembentukan Kelompok Cipayung, yaitu adanya keinginan yang luhur untuk turut memberikan kontribusi pemikiran dalam proses pembangunan nasional dan berusaha mengatasi pengkotak-kotakan dalam dunia pemuda.

Kongres XIV berlangsung di Yogyakarta tahun 1974. Kongres mengajak GMKI agar exodus (keluar) dari ghetto-ghetto (lingkaran/tembok) persekutuan yang sempit dan ikut bersama berjuang bagi perdamaian, keadilan, dan kebenaran. Ini berarti, GMKI tidak hanya berkonsolidasi dan berbenah diri, tetapi yang terutama memberikan kesaksian dengan tindakan nyata bagi kehidupan berbangsa dan bernegara yang pluralistis ini.

Kongres XV berlangsung di Palembang tahun 1976. Perhatian Kongres ditujukan kepada evaluasi ulang menyangkut relevansi Program GMKI, terutama menyangkut Pendidikan Kader dan proses timbal balik antara pendidikan formal dan nonformal. Kongres XVI berlangsung di Ujungpandang tahun 1978 dan Kongres XVII berlangsung di Jakarta tahun 1980.

Selanjutnya, Kongres XVIII berlangsung di Jakarta pada Tahun 1980, Kongres XIX berlangsung di Salatiga pada Tahun 1984; dan Kongres XX berlangsung di Palangkaraya Tahun 1986; Kongres XXI berlangsung di Bandung pada Tahun 1988; Kongres XXII berlangsung di Jayapura pada Tahun 1990; Kongres XXIII berlangsung di Tomohon pada Tahun 1992; Kongres XXIV berlangsung di Pekanbaru pada Tahun 1994; Kongres XXV berlangsung di Ambon pada Tahun 1996; Kongres XXVI berlangsung di Palu pada Tahun 1998; Kongres XXVII berlangsung di Denpasar pada Tahun 2000; Kongres XXVIII berlangsung di Tondano pada Tahun 2002; dimana keputusan yang diambil masih bersifat umum, yakni menyangkut pergumulan GMKI di medan layannya kecuali Kongres XIX dan XX yang akhirnya berhasil mengubah dari DASAR GMKI, yakni Alkitab menjadi ASAS serta Kongres XXIX berlangsung di Pematang Siantar pada Tahun 2004, yang menambahkan pasal tentang Visi dan Misi (Pasal 2 yang sebelumnya tentang Tujuan), dimana ayat 1 merupakan rumusan baru tentang Visi sedangkan ayat 2 tentang Misi yang merupakan rumusan lama atau saduran dari rumusan Tujuan pada AD/ART sebelumnya.


Dari berbagai sumber
Ut Omnes Unum Sint

Cobaan atau Anugerah

It Must have been love? Sering pertanyaan ini muncul dibenakku, dalam keseharianku. Bukan tak mungkin untuk mencari orang lain yang bisa mencintai dan dicintai. Tapi hal tersebut sangat terasa sulit setahun belakangan ini. Tidak bisa merasakan nyaman dan klik dengan orang lain.

      Kadang rasanya ini adalah karma. Hubungan-hubungan yang sebelumnya, aku tidak pernah serius. Merasa ingin mencari dan beranggapan didepan selalu ada yang lebih baik dari ini. Tapi tidak untuk yang satu ini. Aku merasa ini adalah akhir dari pencarian, ini adalah saat aku tidak ingin untuk memiliki atau menuntut. Ini hanya soal rasa. Awalnya..

      Karma itu semakin terasa. Dalam hubungan sebelumnya, tidak untuk menangis tapi sering ditangisi. Omaygad... mungkin dulu aku terlalu jahat. Sekarang aku lebih cengeng ketika harus menahan rindu, aku lebih labil saat menahan rasa. Semua itu ku lakukan dalam diam. Diam dan memposisikan ini adalah karmaku.

      Semakin bertambahnya waktu, setiap sel ditubuh ini mulai menginginkannya. Aku masih menikmati dalam diam, tapi kadang cawan itu tak mampu menampung segala kebahagiaan itu sehingga meluap-luap. Mungkin dia merasa jijik dengan sikapku yang berlebihan. Tapi aku menyayanginya, aku menikmati rasa ini. Ntah dia berpura-pura, ntah dia jujur, aku semakin tidak perduli. Yang ku tau, aku sayang dengannya dan aku tak ingin memilikinya. Ini hanya soal rasa.

      Puncaknya aku merasa cemburu. Cemburu dengan miliknya. Miliknya yang ditunjukkan. Aku berontak, aku marah, aku tidak terima. Aku cemburu. Aku merasa ingin memilikinya, tidak utuh, tapi ingin memilikinya. Dia milikku juga. Aku merasa ingin dikasihani dengan berbagi. Berbagi kasih, berbagi rasa. Pada akhirnya muncul pertanyaan, “Ini Anugrah atau Cobaan”?

      Pertanyaan itu muncul dan memenuhi pikiranku. Dengan segala perbedaan yang ada, dengan keadaan yang ada. Dia Anugrah, aku dapat merasakan rasa yang benar-benar berbeda, aku semakin percaya diri, aku semakin punya mimpi, mimpi itu ingin ku gapai bersama. Dia Cobaan, aku harus mempertimbangkan keluargaku, teman-temanku, sahabatku, Tuhanku. Aku tak mampu memutuskan dia apa.

      Setiap pertemuan selalu ada perpisahan. Dipisahkan oleh maut atau oleh keadaan. Apakah aku menyerah dengan keadaan (?) Apakah aku harus menerima Anugrahku atau justru melewati Cobaanku? Is it Love?

22:31

(pag)

Gereja dan Umatnya.


Pertanyaan yang sering kudapat ketika aku merantau adalah, Gereja dimana Ni..?? jawabanku pasti GKPS deket Akpol. Loh, kok ga pernah keliatan..??
Pertanyaan yang terakhir memang kadang sulit untuk kujawab. Kita menjadi jemaat Gereja mana kadang menjadi persoalan. Seperti baru-baru ini ada sedikit perbincangan kecil antara X yg kebetulan bergereja di GKPS dan masih aktif di GKPS, Y yg juga bergereja di GKPS namun tidak sempat aktif, dan aku yang sempat aktif setengah tahun, namun tidak bergereja disitu. Orangtua X, Y, dan aku sama-sama jemaat GKPS didaerah asalnya.
X: kok ga pernah ke Gereja lagi Y?
Y: diam
X: kau pun kak ga pernah Gereja lagi. Ada boru Girsang disitu.
Aku: tergantung kita nyaman atau engga kan? Kalau kita tidak nyaman, boleh dong kita mencari kenyamanan ditempat lain.
X: kalau ga nyaman, bakar aja Gerejanya kak. (sambil bercanda tentunya).
Aku: gila aja, rumah Tuhan pake dibakar.
X: nah, itu sendiri tau. Rumah Tuhan kok ga nyaman? Selama mereka masih memuji Yesus, ga masalah buatku. Kecuali kalau mereka ganti jadi Muhammad, baru pindah aku.

Obrolan kecil tersebut bisa membuatku berfikir ulang dan sekaligus dilemma. Apa yang membuatku ga nyaman bergereja disitu? Awalnya alasanku memang karena hubungan pribadi, aku merasa ga nyaman saat berkumpul dengan orang-orang yang membuatku ga nyaman. Lama-kelamaan alasanku semakin klise. Karna aku ga ngerti bahasanya. Padahal di Gerejaku itu khotbah memakai bahasa Indonesia, walaupun tata Ibadahnya memakai bahasa Simalungun. Akhirnya ku bisa menjawab, kalau aku tidak mendapat feel atau soulnya disitu.

Itu mungkin kadang yang membuat Gereja kesukuan kehilangan banyak jemaatnya. Kuakui, ketika di Medan aku juga jarang Gereja di GKPS, walaupun bapakku termasuk pemuka jemaat disitu. Aku tidak nyaman dengan kondisinya. Gereja suku khususnya Batak, identik dengan pamer. Ke Gereja dengan aksesoris berlebihan, baju berlebihan dan make up berlebihan. Beda dengan ketika aku bergereja di Bethel. Cukup kaos dan jeans saja, sudah bisa memuji Tuhan.
Ada juga sedikit risih dengan anggapan mencuri Jiwa. Aku pernah mendengar ada beberapa sedikit kerusuhan terkait merasa kurang nyamannya jemaat Gereja dengan keberadaan Gereja Bethel. Coba kita sedikit berfikir, kita setiap manusia pasti menginginkan kenyamanan. Ketika kita merasa sedikit tidak nyaman, kita akan mencari kenyamanan ditempat yang lain.
Aku punya contoh dari sedikit percakapan dengan temanku.
Aku: Waktu dulu, Gereja dimana A..??
A: Gereja X (tentu saja yang dia sebut Gereja kesukuan)
Aku: Loh, disini kok ga kesitu, Gereja bareng kita yok.
A: Sekarang uda engga lagi. Sejak Bapakku meninggal, kami uda ga dianggap lagi di Gereja itu.

Nah, itu menjadi sedikit contoh lagi. Di Gereja aku juga merasakan sedikit adanya tingkatan Kasta. Jika kau memiliki harta, kau akan di Puja disini. Jika kau tidak punya, silahkan duduk dibelakang dan duduk yang manis.
Berbeda halnya yang kurasakan ketika aku beribadah di Gereja Bethel.
Tapi kadang aku merasa perlu adanya mempertahankan tradisi adatku dengan bergereja di Gereja kesukuan. Hanya saja, kadang aku merasa tidak nyaman.

Gereja bukanlah Gedungnya, dan juga bukan Menaranya.
 Bukalah Pintunya, lihat didalamnya, Gereja adalah Orangnya.