Pertanyaan
yang sering kudapat ketika aku merantau adalah, Gereja dimana Ni..?? jawabanku
pasti GKPS deket Akpol. Loh, kok ga pernah keliatan..??
Pertanyaan
yang terakhir memang kadang sulit untuk kujawab. Kita menjadi jemaat Gereja mana
kadang menjadi persoalan. Seperti baru-baru ini ada sedikit perbincangan kecil
antara X yg kebetulan bergereja di GKPS dan masih aktif di GKPS, Y yg juga
bergereja di GKPS namun tidak sempat aktif, dan aku yang sempat aktif setengah
tahun, namun tidak bergereja disitu. Orangtua X, Y, dan aku sama-sama jemaat
GKPS didaerah asalnya.
X:
kok ga pernah ke Gereja lagi Y?
Y:
diam
X:
kau pun kak ga pernah Gereja lagi. Ada boru Girsang disitu.
Aku:
tergantung kita nyaman atau engga kan? Kalau kita tidak nyaman, boleh dong kita
mencari kenyamanan ditempat lain.
X:
kalau ga nyaman, bakar aja Gerejanya kak. (sambil bercanda tentunya).
Aku:
gila aja, rumah Tuhan pake dibakar.
X:
nah, itu sendiri tau. Rumah Tuhan kok ga nyaman? Selama mereka masih memuji
Yesus, ga masalah buatku. Kecuali kalau mereka ganti jadi Muhammad, baru pindah
aku.
Obrolan
kecil tersebut bisa membuatku berfikir ulang dan sekaligus dilemma. Apa yang
membuatku ga nyaman bergereja disitu? Awalnya alasanku memang karena hubungan
pribadi, aku merasa ga nyaman saat berkumpul dengan orang-orang yang membuatku
ga nyaman. Lama-kelamaan alasanku semakin klise. Karna aku ga ngerti bahasanya.
Padahal di Gerejaku itu khotbah memakai bahasa Indonesia, walaupun tata
Ibadahnya memakai bahasa Simalungun. Akhirnya ku bisa menjawab, kalau aku tidak
mendapat feel atau soulnya disitu.
Itu
mungkin kadang yang membuat Gereja kesukuan kehilangan banyak jemaatnya.
Kuakui, ketika di Medan aku juga jarang Gereja di GKPS, walaupun bapakku
termasuk pemuka jemaat disitu. Aku tidak nyaman dengan kondisinya. Gereja suku
khususnya Batak, identik dengan pamer. Ke Gereja dengan aksesoris berlebihan,
baju berlebihan dan make up berlebihan. Beda dengan ketika aku bergereja di
Bethel. Cukup kaos dan jeans saja, sudah bisa memuji Tuhan.
Ada
juga sedikit risih dengan anggapan mencuri Jiwa. Aku pernah mendengar ada
beberapa sedikit kerusuhan terkait merasa kurang nyamannya jemaat Gereja dengan
keberadaan Gereja Bethel. Coba kita sedikit berfikir, kita setiap manusia pasti
menginginkan kenyamanan. Ketika kita merasa sedikit tidak nyaman, kita akan
mencari kenyamanan ditempat yang lain.
Aku
punya contoh dari sedikit percakapan dengan temanku.
Aku:
Waktu dulu, Gereja dimana A..??
A:
Gereja X (tentu saja yang dia sebut Gereja kesukuan)
Aku:
Loh, disini kok ga kesitu, Gereja bareng kita yok.
A:
Sekarang uda engga lagi. Sejak Bapakku meninggal, kami uda ga dianggap lagi di
Gereja itu.
Nah,
itu menjadi sedikit contoh lagi. Di Gereja aku juga merasakan sedikit adanya
tingkatan Kasta. Jika kau memiliki harta, kau akan di Puja disini. Jika kau
tidak punya, silahkan duduk dibelakang dan duduk yang manis.
Berbeda
halnya yang kurasakan ketika aku beribadah di Gereja Bethel.
Tapi
kadang aku merasa perlu adanya mempertahankan tradisi adatku dengan bergereja
di Gereja kesukuan. Hanya saja, kadang aku merasa tidak nyaman.
Gereja
bukanlah Gedungnya, dan juga bukan Menaranya.
Bukalah Pintunya, lihat
didalamnya, Gereja adalah Orangnya.