Di Demo FPI, Strategi Marketing Baru.




Siapa yang tidak tau FPI? Salah satu organisasi besar di Indonesia, berbasis agama yang mampu membuat banyak orang geleng-geleng kepala melihat aksinya. Bukan aksinya tidak bermakna, hanya saja sering tidak sesuai dengan etika. Aku bukan bermaksud untuk menjelek-jelekkan agama tertentu, karena FPI berlabel Islam (Front Pembela Islam), tapi lebih kepada FPI itu sendiri karena banyak aksinya anarkis dan kadang tanpa alasan yang jelas.

Aku tidak mau berkomentar banyak soal FPI, karena akan menimbulkan pembahasan yang panjang. Menyangkut soal agama cuy… Di Indonesia, hal yang paling penting dari segala yang penting adalah agama. Kamu akan dipandang dan diagungkan, jika paham dan mengerti soal agama. Termasuk memutar, membalikkan, dan memlintir ayat-ayat surga. Halah, jadi panjang kan… Padahal aku dari awal tidak ingin membahas soal mereka sang pemilik kunci surga.

Yang menjadi perhatian ku adalah, aksi FPI saat demo meminta penutupan warung BPK (Babi Panggang Karo) di Deli Serdang, Sumatra Utara. Ini link beritanya: http://suarasumut.com/arsip/rumah-makan-bpk-fpi-tutup-atau-kami-bertindak/. Saat aku cari di mbah google, media yang meliput berita ini kebanyakan media lokal. Media nasional sekelas Kompas atau Tempo, ga ada tuh. Tapi urutan paling atas ketika aku mengetikkan “FPI” di google, yang keluar adalah “FPI BPK”.  Sebegitu popular ternyata aksi ini.

Menurut analisa ku yang tidak penting, berita ini bisa naik ke permukaan dan menjadi popular karena beberapa faktor berikut:
  1. FPI menyerang warung makan yang biasanya dihuni oleh orang Batak dimana populasi orang Batak banyak yang “Parbada”. Bagaikan membangunkan macan, “Kau usik aku, retak dada mu Lae!” mungkin begitu ungkapannya.
  2. Populasi Batak menyebar dari Sabang sampai Merauke. Banyak orang Batak yang ngehits di sosial media, bahkan banyak yang jadi seleb intagram. Dan karena Batak yang Parbada tadi, maka berita ini bisa cepat muncul ke permukaan karena postingan di sosial media, dan obrolan “baba to baba”. Ingat berita Sonya Depari atau Florence Sihombing kan? Batak mereka itu…
  3. Babi yang merupakan hewan tempat Yesus membuang setan saat menyembuhkan orang yang kesurupan menjadi sangat fenomenal karena ada yang mengharamkan, tetapi ada yang mencap sebagai makanan terenak didunia, dan daftar menu utama di surga.

Nah, dari ketiga analisa yang tidak penting diatas tadi, poin utama yang ingin kusampaikan tidak ada di salah satunya. Aku ingin membahas tentang strategi marketing BPK. Yah, strategi penjualan suatu produk sehingga dapat dikenal dan diminati oleh masyarakat banyak. Loh, bagaimana bisa? Aku akan menjelaskan dan menarik benang merah dari awal tulisan ku.

Bagi penduduk Indonesia yang berjumlah +/- 250 juta jiwa, BPK singkatan (Babi Panggang Karo) tidak terlalu familiar. Orang-orang lebih mengenal BPK (Badan Pengawas Keuangan) terutama setelah akhir-akhir ini banyak diperbincangkan untuk mengaudit keuangan para pejabat-pejabat. Di Indonesia, Babi sering sekali diucapkan sebagai hinaan atau sumpah serapah, bertemanan dengan Anjing, Tai, Asu, Jancuk, dsb.

Sementara itu, BPK adalah makanan tradisional khas Karo yang cukup terkenal di kalangan orang Batak, dan beberapa suku lain yang pernah merasakan kenikmatan dari BPK ini. Walaupun rasanya yang khas dan fenomenal, BPK tentu masih membutuhkan strategi pasar untuk bisa mendapatkan tempat di lidah masyarakat luas, tidak hanya suku Batak saja.

Hubungannya adalah, ketika warung makan BPK di demo, maka perhatian publik akan teralih dan mau ga mau akan penasaran dengan rasa BPK ini. Seperti apakah rasa BPK ini hingga FPI mau membuang waktu dan energinya untuk aksi menutup warung makan ini?

Untuk membuat iklan di media elektronik seperti TV atau radio, pasti membutuhkan biaya yang besar. Mau endorse seleb-seleb instagram, juga membutuhkan biaya. Apalagi kalau seleb instagramnya penuh drama seperti Awkarin, bisa-bisa bukannya ngiklanin, malah dibuat jadi Vlog penuh drama. Jadi, strategi marketing yang paling murah dan mujarab untuk mengiklankan produk kita adalah: dengan memancing FPI melakukan aksi boikot terhadap produk kita. Ga usah khawatir, masyarakat Indonesia sudah paham dan bisa menilai FPI itu seperti apa.

Sadar ga sadar, FPI kalah banyak dalam hal ini. BPK semakin popular dikalangan masyarakat, FPI semakin dicaci maki karena aksinya semakin tidak penting seperti organisasinya. Yang ada, orang-orang akan berteriak untuk membubarkan FPI. Mungkin FPI bisa membuka jasa endorse atau jasa layanan boikot/pelarangan untuk menaikkan rating produk. Lumayan, untuk memberi nasi bungkus kepada laskar-laskar yang sudah lelah turun ke jalan, daripada ga ada kerjaan.


Selamat lah untuk nande-nande pengusaha BPK di Sumatra Utara sana. Naik ratingnya ku lihat, ga perlu ngiklanin atau minta endorse untuk jualannya. Semoga dengan berkembangnya usaha BPK ini, kami di perantauan ini bisa mencicipi BPK yang benar-benar BPK, bukan babi yang dibuat ala-ala BPK tapi rasanya bukan BPK. (pag)