Dulu sewaktu masih kecil, aku malu sama namaku. Pahlawarni Girsang. Nama yang
kuno dan ga keren menurutku, seperti nama laki-laki. Bukan seperti Bianca (eh,
itu kan nama anjingku. Hehehe..) atau seperti nama adik-adikku, Theresiani atau
Giovanni. Untuk kenalan aku juga sempat minder, ‘Dengan nama aku kenalan?’
‘Arni? Kalau mereka bertanya nama lengkapnya dan aku sebut Pahlawarni, bisa
jadi mereka anggap aku sok imut dengan panggilan ‘Arni’’. Tapi kalau aku jawab
‘Pahlawarni’, mereka akan bertanya-tanya.
Waktu kecil aku memang terbiasa dipanggil teman kecilku dengan panggilan
‘Arni’. Kalau Bapak, biasa memanggilku ‘Warni’. Kalau temanku semasa SD,
memanggilku ‘Pal’. Semasa SMP justru lebih lucu lagi, dipanggil ‘Pepeng’. Satu
sekolah ga akan tau nama asliku selain yang sekelas denganku.
Asal mula nama ‘Pepeng’ bisa muncul, dulu beberapa teman biasa memanggilku
Warni. Mereka panggil begitu waktu main kerumah, Bapak memanggilku begitu.
Karena menurut mereka terlalu imut, mereka berinisiatif mengganti nama
panggilanku. Selidik punya selidik, diambil dari pembawa acara ‘Warna-Warni’,
Pepeng. Sejak saat itu nama Pepeng melekat diingatan teman-teman SMPku. Bahkan
sewaktu bertemu di Media Sosial ada beberapa yang tidak tau aku siapa, ketika
ku menyebutkan ‘Pepeng’ mereke baru ingat.
Untuk nama ‘Arni’ dan ‘Warni’ itu sepenggalan dari nama lengkapku Pahlawarni.
Hanya saja untuk panggilan Warni biasa diucapkan Bapak. ‘War, buat teh manis
buat Bapak’. ‘War, ambilin kaos kaki Bapak’. ‘War, gosokin baju Bapak’. ‘Mana
si Warni itu? Kok belum belajar dia?’. Yah, itu cuma seruan dari Bapakku yang
sekarang tinggal kenangan saja.
Nah, kalau ‘Pahlawarni’ panjang ceritanya. Banyak yang berfikir aku lahir pada
tanggal 10 November. Bertepatan dengan hari Pahlawan. Tapi mereka
keliru.ceritanya berhubungan dengan masa lalu dan bahkan sempat kelam kata
mereka yang lahir lebih dulu dari aku. Pasca menikah, Keluargaku hidupnya
sedikit kurang baik. Mamak yang latar belakang orang kaya harus hidup bersama
Bapak yang juga kaya. Hanya saja keluarga Bapak sempat bangkrut dengan
terbakarnya usaha Tekstil mereka. Dilanjutkan juga meninggalnya Opung (Orangtua
laki-laki Bapak) menjadikan Bapak jadi Tulang Punggung Keluarga. Walaupun dia
punya kakak dan abang, dia harus siap menjadi tulang punggung menemani Opung
Boru dan adik-adiknya melanjutkan sekolah.
Nah, saat
menikah kehidupan keluarga Bapak belum begitu baik. Belum mendapatkan kejayaan
seperti sebelum usahanya terbakar. Bapak mencari pekerjaan kesana-kemari. Pada
saat itu, Bapak menekuni dunia Mengajar, dengan berbekal ilmu Ekonomi, kami
sempat tinggal di Sibolga juga. Nah, pada tanggal 10 Desember, pengumuman PNS.
Bapak termasuk salah satu yang lulus. 10 Desember bertepatan dengan lahirnya
aku. Bapak anggap aku Pahlawan, dari situlah namaku lahir.
Setelah itu
kehidupan kami banyak berubah. Kami pindah ke Medan, dan aku besar sekaligus
bertumbuh di kota Medan. Percaya ga percaya, namaku juga kadang jadi Hoki buat
kami. Misalnya saja ketika Mamak mencoba berdagang di Pasar, dia akan
mengajakku menemaninya. ‘Biar habis jualan kita. Begitu katanya’.
Sekarang aku
justru bangga dengan nama dan arti dari namaku.
Tidak ada
nama yang seperti namaku.
Terimakasih
buat Bapakku yang dengan sangat kreatif membuat namaku.