Tampilkan postingan dengan label Informatif. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Informatif. Tampilkan semua postingan

KISAH KEJUJURAN JENDERAL POLISI HOEGENG

Di Indonesia ini hanya ada tiga polisi jujur, yakni polisi tidur, patung polisi, dan Hoegeng. Begitulah setidaknya menurut Abdurahman Wahid alias Gus Dur. Anekdot mantan presiden RI ini sekaligus sindiran karena cuma Hoegeng satu-satunya polisi jujur. Tapi, sebenarnya tahukah Anda, siapa Hoegeng?
Hoegeng yang bernama lengkap Hoegeng Iman Santoso adalah Kapolri di tahun 1968-1971. Ia juga pernah menjadi Kepala Imigrasi (1960), dan juga pernah menjabat sebagai menteri di jajaran kabinet era Soekarno. Kedisiplinan dan kejujuran selalu menjadi simbol Hoegeng dalam menjalankan tugasnya di manapun.
Misalnya, ia pernah menolak hadiah rumah dan berbagai isinya saat menjalankan tugas sebagai Kepala Direktorat Reskrim Polda Sumatera Utara tahun 1956. Ketika itu, Hoegeng dan keluarganya lebih memilih tinggal di hotel dan hanya mau pindah ke rumah dinas, jika isinya hanya benar-benar barang inventaris kantor saja. Semua barang-barang luks pemberian itu akhirnya ditaruh Hoegeng dan anak buahnya di pinggir jalan saja. “ Kami tak tahu dari siapa barang-barang itu, karena kami baru datang dan belum mengenal siapapun,” kata Merry Roeslani, istri Hoegeng.
Polisi Kelahiran Pekalongan tahun 1921 ini, sangat gigih dalam menjalankan tugas. Ia bahkan kadang menyamar dalam beberapa penyelidikan. Kasus-kasus besar yang pernah ia tangani antara lain, kasus pemerkosaan Sum tukang jamu gendong atau dikenal dengan kasus Sum Kuning, yang melibatkan anak pejabat. Ia juga pernah membongkar kasus penyelundupan mobil yang dilakukan Robby Tjahjadi, yang notabene dekat dengan keluarga Cendana.
Kasus inilah yang kemudian santer diduga sebagai penyebab pencopotan Hoegeng oleh Soeharto. Hoegeng dipensiunkan oleh Presiden Soeharto pada usia 49 tahun, di saat ia sedang melakukan pembersihan di jajaran kepolisian. Kabar pencopotan itu diterima Hoegeng secara mendadak. Kemudian Hoegeng ditawarkan Soeharto untuk menjadi duta besar di sebuah Negara di Eropa, namun ia menolak. Alasannya karena ia seorang polisi dan bukan politisi.
“Begitu dipensiunkan, Bapak kemudian mengabarkan pada ibunya. Dan ibunya hanya berpesan, selesaikan tugas dengan kejujuran. Karena kita masih bisa makan nasi dengan garam,” ujar Roelani. “Dan kata-kata itulah yang menguatkan saya,” tambahnya.
Hoegeng memang seorang yang sederhana, ia mengajarkan pada istri dan anak-anaknya arti disiplin dan kejujuran. Semua keluarga dilarang untuk menggunakan berbagai fasilitas sebagai anak seorang Kapolri. “Bahkan anak-anak tak berani untuk meminta sebuah sepeda pun,” kata Merry.
Aditya, Reni, dan Ayu, putra Hoegeng yang hadir di studio, menceritakan pengalaman berharga mereka ketika menjadi seorang anak pejabat. Misalnya, Adytia bercerita, ketika sebuah perusahaan motor merek Lambretta mengirimkan dua buah motor, sang ayah segera meminta ajudannya untuk mengembalikan barang pemberian itu. “Padahal saya yang waktu itu masih muda sangat menginginkannya,” kenang Didit.
Reni memiliki cerita lain, yakni sering sekali terlambat sekolah karena jika terjadi kemacetan di pagi hari, sang ayah sering turun ke jalan mengatur lalu lintas terlebih dahulu. Masih banyak kisah-kisah yang sarat makna di ceritakan oleh istri, putra putri Hoegeng, serta sejumlah temannya di tayangan ini. Kisah ketegasan dan kesederhanaan Hoegeng sebagai seorang pengabdi masyarakat.
Saking jujurnya, Hoegeng baru memiliki rumah saat memasuki masa pensiun. Atas kebaikan Kapolri penggantinya, rumah dinas di kawasan Menteng Jakarta pusat pun menjadi milik keluarga Hoegeng. Tentu saja, mereka mengisi rumah itu, setelah seluruh perabot inventaris kantor ia kembalikan semuanya.
Memasuki masa pensiun Hoegeng menghabiskan waktu dengan menekuni hobinya sejak remaja, yakni bermain musik Hawaiian dan melukis. Lukisan itu lah yang kemudian menjadi sumber Hoegeng untuk membiayai keluarga. Karena harus anda ketahui, pensiunan Hoegeng hingga tahun 2001 hanya sebesar Rp.10.000 saja, itu pun hanya diterima sebesar Rp.7500!
Kepada Kick Andy, Aditya menunjukkan sebuah SK tentang perubahan gaji ayahnya pada tahun 2001, yang menyatakan perubahan gaji pensiunan seorang Jendral Hoegeng dari Rp. 10.000 menjadi Rp.1.170.000. Setelah memasuki masa pensiun, Hoegeng sempat mengisi acara di Radio Elshinta, namun tak lama acaranya ditutup karena dianggap terlalu pedas.
Hoegeng kemudian membesarkan kembali musik Hawaiian yang terkenal dengan nama “Hawaiian Senior” dan mengisi acara di TVRI selama 10 tahun. Acara itupun kemudian “dibredel” oleh pemerintah dengan alasan tidak mencerminkan budaya nasional Indonesia. Hoegeng yang kemudian bergabung dengan kelompok petisi 50, tampaknya memang memiliki banyak ganjalan dalam berkiprah di negeri ini.
Musik Hawaiin memiliki makna tersendiri untuk Merry sang istri. Karena mereka sering bermain musik hawaiin bersama-sama. Hoegeng sendiri pernah ke Pulau Hawaii dalam rangka tugas, tapi sang istri yang sangat-sangat ingin pergi ke pulau itu tak pernah diajaknya. “Kami sudah sepakati bahwa saat Bapak tugas, saya sebagai istri tak perlu ikut,” ujar Merry yang mengaku memiliki sahabat di Pulau milik Amerika itu.
Merry memang sosok istri yang tulus. Bahkan mantan ketua YLKI yang juga peneliti bidang kepolisian, Zumrotin yang hadir di studio, memuji ketulusan sosok Merry yang berbeda dengan kebanyakan istri pejabat, terutama di masa kini.

Dasar kepemimpinan


Definisi Kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi perilaku seseorang atau sekelompok orang untuk mencapai tujuan tertentu pada situasi tertentu. Kepemimpinan merupakan masalah sosial yang didalamnya terjadi interaksi antara pihak yang memimpin dengan pihak yang dipimpin untuk mencapai tujuan bersama, baik dengan cara mempengaruhi, membujuk, memotivasi dan mengkoordinasi.

Kaitan antara Kepemimpinan (leadership) dan Pemimpin (leader) dalam kehidupan sehari –hari apalagi dalam sebuah organisasi  menjadi topik yang selalu erat dan dibutuhkan.  Organisasi tanpa pemimpin maka akan bubar, demikian juga bila pemimpin tanpa kepemimpinan akan kacau. Jadi kepemimpinan dan pemimpin merupakan suatu kesatuan. Pemimpin menunjuk subjek sementara kepemimpinan merujuk pada sifat.  Pemimpin adalah fungsi dari kepemimpinan. Pemimpin bisa beda dengan pimpinan.  Bila pimpinan lebih mengacu posisi struktur atau tingkatan diatas/hirarki, maka pemimpin tidak selalu merujuk pada posisi, tingkatan atau kedudukan serta aturan formal dalam organisasi. Pemimpin lebih kepada fungsi yang dilakukan oleh seseorang dalam perbuatan atau tindakannya (aksi dan visi). Jadi setiap orang bisa menjadi pemimpin, namun tidak semua orang bisa jadi pimpinan. 
Pemimpin juga beda dengan manajer. Banyak orang yang menyamakan (mempersepsikan) manajer dengan pemimpin. Apa bedanya? Beberapa pakar dan pemikir manajemen dan kepemimpinan membedakannya dengan penjelasannya dalam bahasa Inggris : Manager is doing things right, however leader is doing right things. Jelas bukan bedanya?  Keterkaitannya adalah  kepemimpinan merupakan inti dari manajemen sedangkan manajemen inti dari administrasi

Usaha memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan pribadi, sering orang menunjukkan perilaku yang seolah-olah bersifat individualistis, bahkan mungkin nampak egosentris. Tetapi perlu disadari bahwa perilaku demikian tidak selalu otomatis bersifat destruktif dan berakibat negatif bagi pembinaan kerjasama yang serasi, tetapi merupakan seni bagi seorang pemimpin dalam memberikan bimbingan dorongan serta arahan yang kesemuanya melalui proses komunikasi yang terarah dan berencana serta sistematis tanpa melupakan nilai manusiawi. Keberhasilan seorang pemimpin juga ditentukan oleh kemampuan dan sifat-sifat atau karakteristik pribadi pemimpin, yang disebut oleh banyak orang sebagai ‘bakat kepemimpinan’. Akan tetapi, ‘bakat’ itu juga harus dibina dan dikembangkan, terutama dengan nilai-nilai etis, agar kepemimpinan tidak melenceng dan hanya membawakan ketidak-sejahteraan bagi yang dipimpin (baca : anggota, organisasi, atau masyarakat).

Secara umum gaya kepemimpinan secara esensial memfokuskan diri pada dua gaya yaitu gaya kepemimpinan yang berorientasi pada tugas (task orientation) dan gaya kepemimpinan yang berorientasi kepada pekerja (employ orientation). Perilaku kepemimpinan sangat beragam dari satu situasi ke situasi yang lain. Secara umum kelompok besar mempunyai tuntutan lebih banyak dan lebih beragam dibanding dengan apa yang dilakukan oleh kelompok kecil. Pada umumnya pemimpin dalam kelompok besar cenderung bersifat kurang memperhatikan hal-hal yang bersifat pribadi dan kurang tegas dalam memperlakukan peraturan dan kekuasaan. Sebaliknya dalam kelompok kecil pemimpin memberikan perhatian pada hal-hal yang bersifat pribadi terhadap kelompok kerja dan memperlakukan anggota kelompok menurut kemampuan dan kebutuhannya sebagai individu.

Para dasarnya gaya kepemimpinan ini sama dengan kepemimpinan Managerial Grid, yaitu ada empat gaya dasar, kemudian akan menjadi delapan gaya kepemimpinan. Kedelapan gaya tersebut adalah :
1.       Gaya dasar integrated dengan tugas tinggi, hubungan tinggi, akan menjadi gaya executive bila diekspresikan dalam situasi yang efektif. Tandanya ialah memenuhi kebutuhan kelompok dalam menetapkan tujuan dan bagaimana mencapainya, memperhatikan hubungan dalam kelompok. Kelompok menjadi kohesif dan bekerja keras. Bila tidak efektif, maka akan menjadi gaya compromiser yang ditandai dengan selalu memecahkan masalah dengan mengadakan kompromi antara tugas dan hubungan, sehingga tidak berorientasi pada hasil yang dicapai.
2.       Gaya separated, yaitu tugas tinggi dan hubungan rendah. Apabila efektif akan menjadi gaya bureucrat yakni mendelegasikan wewenang pada bawahan untuk mengarnbil keputusan tentang apa yang perlu dikerjakan. Apabila tidak efektif akan menjadi gaya deserted yaitu tidak memberikan struktur jelas dan dukungan moral pada waktu yang diperlukan.
3.       Gaya related, yaitu hubungan tinggi dan tugas rendah. Gaya ini menjadi-efektif bila menjadi gaya developer yaitu percaya kepada anggota stafnya dan memberikan kemudahan untuk berkembangnya anggota staf dalam usaha mencapai tujuan organisasi. Bila tidak efektif maka akan menjadi gaya missionary yaitu hanya tertarik pada adanya harmoni, dan kadang-kadang tidak bersedia mengorbankan hubungan meskipun tujuan tidak tercapai.
4.       Gaya dasar dedicated yaitu tugas tinggi dan hubungan rendah. Gaya ini bila efektif akan menjadi gaya benevolent autocrat yaitu mempunyai tata kerja yang berstruktur, tetapi jelas tugas untuk bawahan. Bila tidak efektif akan menjadi gaya autocrat yaitu semua kebijakan ditetapkan sendiri tanpa memperdulikan bawahan.




Sehubungan dengan tingkat kematangan bawahan yang dihubungkan dengan perilaku pimpinan dalam menggerakan bawahan ini mengemukakan empat upaya kepemimpinan efektif seperti terlihat pada gambar di atas, adalah sebagai berikut:
-          Pertama, Telling (S 1) yaitu perilaku pimpinan dengan tugas tinggi dan hubungan rendah. Gaya mempunyai hubungan satu arah. Pemimpin membatasi peranannya dan menginstruksikan bawahan tentang apa, bagaimana, bilamana, dan di mana hares melakukan sesuatu tugas tertentu. Pemimpin juga memberikan pengarahan yang jelas dan spesifik. Gaya ini sesuai dengan level kematangan yang rendah atau orang yang tidak mampu dan mau (MI).

-          Kedua, Selling (S2) yaitu perilaku tugas tinggi dan hubungan tinggi. Pimpinan masih banyak memberikan pengarahan dan memberikan dukungan dalam keputusan melalui komunikasi dua arah. Gaya ini sesuai dengan tingkat kematangan rendah ke sedang (M2) orang yang tidak mampu berkeinginan untuk memikul tanggung jawab memiliki keyakinan tetapi kurang memiliki keterampilan.
                               
-          Ketiga, Partisipasi (S3) adalah perilaku hubungan rendah dan tugas rendah. Pemimpin dan bawahan saling tukar menukar ide dalam pembuatan keputusan melalui komunikasi dua arah, dan yang dipimpin cukup mampu serta berpengetahuan untuk melaksanakan tugas yang dibebankan kepada bawahan. Gaya kepemimpinan ini sesuai dengan tingkat kematangan dari sedang ke tinggi (M3). Orang-orang pada tingkat perkembangan ini memiliki kemampanan, tetapi tidak berkeinginan untuk melakukan suatu tugas yang dibebankan. Ketidakmampuan mereka sering kali disebabkan karena kurangnya keyakinan.

-          Keempat, Delegasi (S4) yaitu perilaku hubungan rendah dan tugas rendah. Pemimpin melakukan seperti ini karena bawahan telah memiliki kematangan yang tinggi, baik dalam melaksanakan tugas maupun matang secara psikologis. Kegiatan ini melibatkan bawahan untuk melaksanakan tugas sendiri melalui pendelegasian dan supervisi yang bersifat umum. Gaya ini sesuai dengan tingkat kematangan yang tinggi (M4). Orang-orang yang mampu dan mau atau mempunyai keyakinan untuk memikul tanggung jawab. Dengan demikian gaya delegasi ini berprofil rendah. Yang memberikan sedikit pengarahan atau dukungan memiliki tingkat kemungkinan efektif yang paling tinggi dengan individu dalam tingkat kematangan seperti ini.

Pemimpin Yang baik adalah pemimpin yang  mau berkorban
tanpa mengharapkan pamrih dan juga balas jasa.


*Pahlawarni Girsang, dari berbagai sumber.






SEJARAH GMKI











I. PENDAHULUAN

Sejarah Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) adalah rentetan peristiwa yang dialami oleh GMKI. Sejarah itu menggambarkan suka-duka perjalanan GMKI dalam mewujudkan tugas dan panggilannya. Sejarah perlu dipelajari karena 3 (tiga) alasan: pertama, melalui sejarah kita menemukan motivasi dasar dan cita-cita yang mengilhami para pendahulu untuk membntuk GMKI; kedua, melalui sejarah juga kita memperoleh nilai-nilai kejuangan para pendahulu; dan ketiga, dengan mempelajari sejarah, akan terpola pemahaman yang benar tentang GMKI dan perjuangannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan bergereja.

Salah satu nilai penting lain yang dapat kita petik dari sejarah GMKI adalah karakter dwi-watak GMKI yang sangat khas karena berupaya untuk memilih secara kreatif dan dinamis antara oikumenisme dan nasionalisme. Kedua aspek ini tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan ber-GMKI, dari waktu ke waktu. Keduanya, seolah dihubungkan oleh seutas benang biru yang walaupun sangat halus (kadang-kadang tidak kelihatan), namun amat kokoh. Hal tersebut terlihat jelas pada sejarah GMKI, dimana selain berdoa dan berdiskusi tentang Firman Tuhan (PA), juga tidak lupa para mahasiswa secara bahu membahu membantu perjuangan fisik bangsa. Sebagai contoh, sebagaimana hasil dialog antara Alex F. Litaay dengan Mr. Tine A. L. Franz, seorang Ibu yang banyak memberi andil dalam sejarah CSV op Java, PMKI, dan GMKI. Beliau menggambarkan bahwa setiap minggu ketiga Februari, satu per satu anggota PMKI menuju ke Jln. Pegangsaan Timur No. 27 (sekarang STT Jakarta) untuk bersekutu dan berdoa secara bersama-sama dalam acara Hari Doa Mahasiswa Se-Dunia atau HDMS (The Universal Day of Prayer for Students). Walau demikian, mereka tetap menggunakan lencana merah putih di dada, sebagai simbol kebanggaan dan wujud komitmen terhadap perjuangan bangsa, agar tetap berjuang di fron-fron pertempuran ketika berlangsung revolusi fisik.

Mempelajari sejarah bukan sekedar bernostalgia terhadap peristiwa masa lalu, tetapi dalam rangka menangkap visi dan misinya. Dengan belajar dari sejarah, kita diharapkan dapat melanjutkan perjuangan para pendahulu (founding fathers) secara optimal dan mengetahui ke arah mana seharusnya biduk GMKI diarahkan dan/atau bergerak.

II. PERIODISASI HISTORIS
Periodisasi dalam kehadiran (presensia) GMKI dapat dibagi dalam 3 (tiga) kurun waktu, yakni: 1) Christelijke Vereeniging Studenten op Java/CSV op Java (1932-1942); 2) Perhimpunan Mahasiswa Kristen Indonesia/PMKI (1945-1950) dan CSV yang baru (1946-1950); dan 3) GMKI (1950-sampai sekarang).

1. CSV op Java (1932-1942)
GMKI berdiri pada tanggal 9 Februari 1950, namun cikal bakal GMKI, yaitu Christelijke Vereeniging Studenten op Java (CSV op Java), telah ada jauh sebelumnya, yaitu sejak 28 Desember 1932 di Kaliurang, Yogyakarta. Berdirinya CSV op Java ini tidak dapat dipisahkan peranan dari Ir. C. L. van Doorn, seorang ahli kehutanan tetapi yang juga mempelajari aspek sosial ekonomi (khusunya pertanian) dan memperoleh gelar doktor di bidang ekonomi dan dominee di bidang teologia.
Aktivis CSV Nederland tersebut tiba di Batavia (Jakarta) pada tahun 1921. Akan tetapi, mengingat informasi dan kondisi mengenai Jawa belum dipahami secara baik, maka beliau dianjurkan untuk mempelajarinya, sebelum bertindak. Untuk maksud tersebut, beliau bekerja selama 3 (tiga) tahun di Kantor Volksrediet Purworejo sehingga pengetahuannya mengenai aspek sosial, ekonomi, dan budaya semakin berkembang. Bahkan, beliau pernah melakukan sebuah riset/penelitian dengan topik: Sketsa tentang Perkembangan Ekonomi di Afdeiling Purworejo. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sejak semula, para pendiri CSV op Java cukup memahami situasi sebenarnya dari masyarakat Indonesia, khususnya di P. Jawa sebagai embrio bagi perkembangan GMKI hingga saat ini.

Tahun 1910-1924, berdirilah Sekolah Dokter (STOVIA) di Batavia. Perguruan tinggi lainnya berdiri di Bandung, Bogor, dan Surabaya. Tahun 1924, terbentuklah Batavia CSV sebagai cabang pertama CSV. Kurun waktu 1925-1927, mahasiswa di Surabaya yang berkumpul dalam Jong Indie dan mulai aktif melakukan PA. Kelompok ini, bersama-sama dengan Batavia CSV, mengadakan Konperensi di Kaliurang pada Desember 1932, yang mengeluarkan Pernyataan Pembentukan CSV op Java sebagai berikut:
Kami wakil-wakil dari Batavia CSV, Surabaya CSV, dan sekelompok mahasiswa Meefdacte Batavia, yang berkumpul pada Konperensi Pemuda ke7 di Kaliurang (Yogyakarta), bersama-sama dengan beberapa orang mahasiswa kristen Bandung, telah sepakat untuk membentuk suatu CSV gabungan, yaitu Christelijke Vereeniging Studenten op Java. Dengan mendirikan CSV ini, kami bermaksud menyatakan diri dengan CSV-CSV lainnya di seluruh dunia yang tergabung dalam World Student Christian Federation (WSCF), untuk bersama-sama bersaksi tentang Yesus Kristus di kalangan dunia kemahasiswaan. Adalah tujuan jujur kami untuk menjunjung moto WSCF, Ut omnes unum sint, di kalangan organisasi kami demi menyatukan para mahasiswa dari perlbagai suku bangsa di sini. Kami yakin bahwa usaha awal kami ini kecil dan lemah, namun kami bertekad melaksanakan pekerjaan ini dengan keyakinan yang sama teguhnya bahwa Tuhan akan menguatkan kami.

Peristiwa penting lainnya yang berkaitan dengan lahirnya CSV op Java adalah dengan kehadiran Dr. John R. Mott (alm) pada tahun 1926 di Jakarta. Beliau merupakan tokoh pendiri WSCF (federasi mahasiswa kristen se-dunia), yang didirikan pada Agustus 1885, melalui satu pertemuan antara mahasiswa kristen Eropa dan Amerika di istana kuno Vedstena, di tepi danau Wettern, Swedia. WSCF merupakan embrio bagi gerakan oikumene ke seluruh dunia. Kedatangan beliau di Indonesia juga merupakan tonggak sejarah amat penting bagi GMKI di Indonesia. Walau masih dalam usia muda, CSV op Java menjadi tuan rumah pelaksanaan Konperensi GMK-GMK se-Asia pada tahun 1933 di Citeureup. Konperensi ini sendiri dinamakan Konperensi Citeureup dan pada Konpoerensi inilah CSV op Java diterima sebagai Corresponding Member oleh WSCF. 

Keanggotaan WSCF sendiri terdiri dari: 
1) Pioneering Movement (gerakan-gerakan yang baru dimulai); 
2) Corresponding Movement (gerakan-gerakan yang sudah stabil dan organisasinya rapi terstruktur tetapi belum memenuhi syarat untuk menjadi anggota resmi Federasi; dan
3) Affiliated Movement/Full Member (gerakan-gerakan yang sudah memenuhi segala persyaratan yang ditetapkan Federasi).

Jumlah anggota CSV op Java dalam kurun waktu 1930-an sekitar 90-an orang dan cabang-cabangnyapun hanya baru ada di kota-kota perguruan tinggi di Jawa (Jakarta, Bogor, Bandung, dan Surabaya). Sekalipun kecil dan lemah, CSV op Java berhasil meletakkan dasar bagi pembinaan mahasiswa kristen yang kemudian dilanjutkan oleh GMKI (PMKI dan CSV yang baru).

Masuknya Jepang ke Indonesia (1942), mengakhiri eksistensi CSV op Java secara struktural dan organisatoris karena Pemerintah Pendudukan Jepang melarang sama sekali kegiatan-kegiatan organisasi yang dibentuk pada zaman Hindia Belanda. Secara praktis, CSV op Java tidak lagi ada sejak tahun 1942. 
Akan tetapi, dua aspek penting yang menjadi dasar bagi perkembangan kehidupan organisasi mahasiswa kristen selanjutnya, yang biasa disebut benang biru sejarah adalah:
1) mulai ada kerjasam dengan GMK-GMK se-Asia; dan 
2) makin meningkatnya semangat persatuan nasional.

Sepanjang sejarahnya, CSV op Java dipimpin oleh Ketua Umum Dr. J. Leimena (1932-1936) dan (1939-1942) dan Mr. Khow (1936-1939) dengan Sekretaris (full time) dijalankan oleh Ir. C. L. van Doorn (1932-1936) dan Sutjipto (1936-1942).

2. PMKI dan CSV yang baru (Masa Revolusi Kemerdekaan RI/1945)
Sejumlah mahasiswa kedokteran dan hukum di Jakarta memutuskan untuk membentuk suatu organisasi mahasiswa kristen untuk menggantiakn CSV op Java yang sudak tidak ada lagi/dibubarkan. Dalam suatu pertemuan di STT Jakarta pada tahun 1945, dibentuklah PMKI sebagai Pengurus Pusat sehingga Dr. J. Leimena tetap dipilih sebagai Ketua Umum dan dr. O. E. Engelen sebagai Sekretaris Jenderal. Akan tetapi, karena Leimena sibuk dengan tugas sebagai Menteri Muda Kesehatan, maka tugasnya diserahkan kepada dr, Engelen. Setelah itu, PMKI cabang Bandung, Bogor, Surabaya, dan Yogyakarta (ketika UGM berdiri) segera menyusul.

Kegiatan-kegiatan PMKI sebenarnya tidak terlalu berbeda dengan CSV op Java dimana penelaahan Alkitab merupakan salah satu intinya. Keanggotaan PMKI sebagian besar adalah mahasiswa yang memihak kepada perjuangan kemerdekaan. Hal ini merupakan warisan dari CSV op Java. Tidak lama setelah PMKI lahir, maka di awal tahun 1946, muncul suatu organisasi baru yang menggunakan nama CSV dengan cabang-cabang di Bogor, Bandung, dan Surabaya. CSV yang baru ini sebenarnya bukan merupakan tandingan PMKI, hanya saja, CSV ini lebih berorientasi kepada Pemerintah Pendudukan Belanda.

3. GMKI Melanjutkan Misi dan Eksistensi
a. Masa Perkembangan (1950-1960)
Dengan berakhirnya pertikaian bersenjata antara Indonesia dan Belanda di akhir tahun 1949, maka berakhir pula pertentangan antara PMKI dan CSV yang baru. Pada tanggal 9 Februari 1950, dalam sebuah pertemuan di rumah Dr. J. Leimena (Jln. Teuku Umar 36, Jakarta), lahir kesepakatan untuk meleburkan PMKI dan CSVyang baru dalam suatu organisasi yang dinamakan Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia, yang disingkat GMKI. Disepakati pula bahwa untuk sementara waktu, Dr. J. Leimena diangkat sebagai Ketua Umum sampai diadakannya suatu kongres. Lalu, diselenggarakanlah Kongres I di Sukabumi pada Desember 1950, yang berhasil memilih:
1) Ketua Umum: dr. J. E. Siregar; 
2) Penulis Umum: Nn. Mr. Tine A. L. Frans; dan 
3) Bendahara: W. Makaliwy.

Pada Masa Perkembangan (beberapa dokumen menyebutkan Masa Pertumbuhan) ini telah berlangsung beberapa Kongres. Kongres I ini, dibahas tentang program Umum GMKI, yakni bagaimana pelayanan yang efektif terhadap anggota sebagai unit terkecil dari organisasi, terutama dengan menyelenggarakan kegiatan-kegiatan PA agar mereka dimampukan untuk menjadi Saksi Kristus dalam dunia mahasiswa Indonesia. Sejarah juga mencatat bahwa pada tahun ini, tepatnya tanggal 22 Mei 1950, terbentuklah Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI) yang dipelopori oleh tokoh-tokoh yang sebelumnya dibina oleh GMKI, ketika masih bernama CSV atau PMKI, seperti dr. J. Leimena, E. Tunggul Sihombing, Dr. Abineno, Dr. Marantika, dan lain-lain. Penyatuan gereja-gereja memang merupakan suatu cita-cita konstan GMKI.

Pada Periode Awal ini, GMKI baru memiliki 5 (lima) cabang dengan anggota berjumlah 481 orang, dengan rincian masing-masing sebagai berikut: Jakarta (181 orang), Bandung (187 orang), Yogyakarta (40 orang), Surabaya (64 orang), dan Makassar (9 orang). Kelima cabang ini kemudian melaksanakan Kongres II pada Oktober 1952 juga di Sukabumi. Kongres ini sangat bermakna penting dan stratejis karena: 
1) berhasil disusun Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART); dan 
2) mulai ditetapkan tema-tema untuk setiap kongres. 
Kongres II berhasil menyusun Pengurus untuk masa kerja 2 (dua) tahun (1952-1953) sebagai berikut: 
1) Ketua Umum: dr. J. E. Siregar; 
2) Penulis Umum: Nn. Mr. Tine A. L. Frans; dan 
3) Bendahara: Dr. S. C. Nainggolan.

Pada tahun 1951, diadakan Kursus Kader Internasional yang pertama kali di Jogjakarta, dengan negara peserta: Birma, Muangthai, Philipina, India, Srilangka, Jepang, Amerika, Australia, Indonesia, dan dari WSCF sendiri. Wakil Indonesia antara lain: dr. J. E. Siregar, Nn. Tine A. L. Franz, Chr. A. Kitting, L. Radja Haba, dan Nn. D. A. Tamaela. Hasil konkrit dari kursus ini adalah dengan bekerjanya C. I. Itty, MA, sebagai Sekretaris keliling, yang mengunjungi cabang-cabang GMKI di tanah air.
Kongres II juga berlangsung di Sukabumi pada tahun 1952. Masalah utama yang dugumuli adalah program pelayanan anggota, juga merupakan lampu kuning bagi setiap anggota GMKI agar tidak tenggelam dalam multiaktivitas tanpa dibarengi dengan kehidupan rohani yang matang. Iman tanpa ilmu pengetahun adalah buta dan ilmu pengetahu tanpa iman adalah lumpuh, demikian antara lain yang disampaikan oleh J. Leimena, bahkan berulang-ulang kali diucapkan sebagai warning. Dalam Kongres ini juga ditetapkan antara lain: GMKI berdasarkan Kitab Kudus yang menyaksikan Yesus Kristus adalah Allah dan Juruselamat, dan ditetapkan bahwa tanggal 9 Februari 1950 sebagai hari berdirinya GMKI.

Kongres III berlangsung di Yogyakarta pada tahun 1953. Pada tahun yang sama, berdirilah cabang GMKI Bogor dan Medan sehingga jumlah seluruh anggota meningkat menjadi 1099 orang (untuk ketujuh cabang). Pada tahun yang sama, GMKI melalui General Assembly WSCF di Nasrapur, India, resmi menjadi Affiliated Movement/Full Member WSCF.
Selanjutnya, Kongres IV berlangsung di Surabaya Tahun 1954, Kongres V di Bandung Tahun 1955, dan Kongres VII di Kalimantan Tahun 1959, dimana keputusan yang diambil masih bersifat umum, yakni menyangkut pergumulan GMKI di medan layannya..

Kongres VI berlangsung di Sukabumi pada tahun 1956, yang menggumuli tentang:
1) Esistensi GMKI dan identitasnya agar tetap independen dan tidak tergoda untuk bernaung di bawah salah satu kekuatan partai politik. Masalah ini juga berkembang sampai tahun 1960-an, dimana banyak orang memvonis bahwa GMKI merupakan onderbouw Parkindo (Partai Kristen Indonesia). Hal ini jelas keliru! Memang keduanya mempunyai dasar yang sama, yaitu Alkitab, tetapi, GMKI bukanlah organisasi politik! Kehadiran anggota-anggota atau bekas anggota GMKI dalam Parkindo, bukanlah kebijaksanaan resmi atau restu ataupun rekomendasi GMKI. Hal ini juga berlaku sampai sekarang. 
2) Kongres VI ini juga melakukan perubahan AD/ART GMKI, dimana Pengurus Umum dipilih untuk masa bakti 2 (dua) tahun.

Hingga tahun 1960, boleh dibilang bahwa GMKI memang mengalami masa perkembangan, baik dalam hal penataan organisasi maupun dalam siklus dan kalender konstitusi organisasi. Sebagai contoh, pada IV di Prigen, Surabaya, telah dilaksanakan Konperensi Studi mengawali Kongres.

b. Masa Konsolidasi (1960-1970)
Konperensi Studi dan Kongres Nasional (KKN) VIII pada Juli 1961 berlangsung di Surabaya, yang merupakan Kongres pertama pada dekade 1960-an, yang dikenal sebagai Masa Konsolidasi. (cf: dekade 1950-an disebut Masa Pertumbuhan). Di sekitar periode ini dapat dicatat bahwa atas inisiatif GMKI, telah disepakati agar dua organisasi pemuda kristen yang selalu berseteru, yakni PPKI (Persatuan Pemuda Kristen Indonesia) dan MPKO (Majelis Pemuda Kristen Oikumene) untuk meleburkan menjadi satu organisasi. Cita-ciat ini akhirnya tercapai pada tanggal 23 April 1962, dimana GAMKI (Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia) berdiri, sebagai fusi dari kedua organisasi di atas.

Kongres VIII telah membawa GMKI memasuki kehidupan baru dimana aspek konsolidasi organisasi mulai hangat didiskusikan. Kongres ini juga berhasil mengubah struktur secara besar-besaran dan mulailah berlaku AD/ART yang baru. GMKI yang sebelumnya dipimpin secara desentralisasi oleh Pengurus Umum (PU), selanjutnya diatur secara sentralisasi oleh Pengurus Pusat (PP). Sebelumnya, PU lebih banyak merupakan federasi dari organisasi di kota-kota PT. Selain itu, mulailah dilakukan pembagian Daerah Regional Cabang, Perumusan Pola Pelayanan, Garis Panggilan Umum, dan Pembentukan Cabang-cabang yang Baru (tendensi organisasi semakin berkembang).

Kongres IX berlangsung di Pematang Siantar tahun 1963. Kongres X berlangsung di Manado tahun 1965. Pada Kongres ini, GMKI menyatakan dirinya sebagai anak kandung Gereja dalam Revolusi Indonesia dan sebagai organisasi kader dan bukan ormas (organisasi massa). Hal ini berarti bahwa sikap dan tindakan GMKI diidentikkan dengan Gereja. Sebagai implikasi logisnya, pembinaan anggota diarahkan untuk menjadi kader yang mampu dan berkualitas sehingga dapat menjawab tantangan di atas. Pemahaman visi dan misi Gerakan oleh para kader, mutlak diperlukan.

Kongres XI di Makale, Tana Toraja pada tahun 1967, mencatat hal-hal yang menggembirakan dari aspek perkembangan organisasi, dimana sudah terdapat 72 cabang GMKI di seluruh tanah air, yang dibagi ke dalam 12 daerah pelayanan yang dikoordinasi oleh Koordiantor Daerah (Korda). Pada Kongres ini, GMKI merasa terpanggil untuk meningkatkan peranserta bagi pelayanan dan kesaksian dalam usaha membina kader baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kongres ini bermakna penting sebab merupakan Kongres pertama sejak bangsa dan negara bersama rakyat berhasil menumpas Pemberontakan G-30-S/PKI.
Secara intern organisasi, memang diakui bahwa peristiwa ini menimbulkan polarisasi dalam tubuh GMKI. Sebagai contoh, penyusutan jumlah cabang di tahun 1960-an sebanyak ± 90 cabang, yang hadir di Kongres XII di Kupang-Timor tahun 1970, hanya 32 cabang. Banyak cabang yang nonaktif sejak tahun 1966, terutama karena dilakukannya pembenahan sistem pendidikan tinggi oleh Pemerintah sehingga PT yang belum mapan dan statusnya kurang jelas, ditutup. Selain itu, timbulnya apatisme di kalangan mahasiswa sehingga banyak yang enggan masuk organisasi-organisasi ekstrauniversiter.

Selama Masa Konsolidasi, GMKI mengalami perubahan yang sangat pesat, yang dipengaruhi oleh perkembangan situasi politik, sosial, dan ekonomi di Indonesia. Pengalaman dari kongres ke kongres telah membawa GMKI kepada suatu pernyataan yang dicetuskan pada Kongres XII di Kupang pada tahun 1970, yakni: Here Am I, Send Me. Keputusan Kongres XII menuntut agar GMKI harus menegaskan posisi teologis sebagai gereja yang fungsional di PT.

c. Masa Pengutusan (1970-sekarang)
Masa Pengutusan ini dapat ditelaah dari 2 (dua) aspek penting, yaitu interen organisasi dan eksteren organisasi. Aspek interen organisasi yang perlu dicermati dan disimak, antara lain:

1) Bidang Organisasi; dilakukan pembenahan cabang-cabang termasuk evaluasi terhadap yang tidak lagi berfungsi bahkan ada beberapa cabang yang dibubarkan. Di lain pihak, terbentuk cabang-cabang baru di kota-kota perguruan tinggi yang dianggap stratejis. Hingga memasuki Kongres XXX yang akan diselenggarakan di Kupang, 5-12 November 2006, tercatat sekitar 71 cabang GMKI (jumlah yang hampir sama tatkala memasuki Kongres XII di Kupang pada tahun 1970 atau 36 tahun kemudian), selain beberapa calon dan bakal calon cabang yang sedang diproses oleh Pengurus Pusat Masa Bakti 2004-2006;

2) Bidang Kaderisasi: Kongres XV di Palembang tahun 1976, telah memutuskan sesuatu yang sangat berharga dan penting bagi eksistensi GMKI ke depan, yaitu dipandang perlu membentuk suatu lembaga yang akan menjnjang pengkaderan GMKI. Lembaga tersebut direkomendasikan kepada Pengurus Pusat dengan nama Lembaga Penelitian dan Pengembangan Kader (LPPK) GMKI. Lima tahun kemudian (1981), melalui seminar nasional pendidikan kader di Salatiga, dirumuskanlah Pola Dasar Sistem Pendidikan Kader (PDSPK) GMKI. PDSPK ini berlaku untuk 10 tahun ke depan barulah dievaluasi. Sesudah 10 tahun (1981-1991), oleh Pengurus Pusat GMKI Masa Bakti 1990-1992, meaksanakan Lokakarya Sistem Pendidikan Kader GMKI di Salatiga, 17-22 Maret 1992. Produk ini, kemudian oleh Pengurus Pusat GMKI Masa Bakti 1992-1994 bersama Yayasan Bina Darma (lembaga yang dibentuk oleh Universitas Kristen Satya Wacana dan GMKI) kembali melaksanakan Konsultasi Nasional dan Lokakarya PDSPK pada 14-17 Maret 1994 di Kampus Bina Darma Salatiga, dimana produk Lokakarya tersebut dijadikan sebagai materi dasar Pendidikan Kader GMKI yang selanjutnya dilaporkan pada Kongres XXIV di Pekanbaru. Akhirnya, Kongres ini berhasil mensahkan produk Lokakarya menjadi PDSPK GMKI 1994-2004. Sebab itu, dalam KKN (Konperensi Studi dan Kongres Nasional) GMKI di Jogjakarta tahun 1974, GMKI mulai memikirkan cara-cara baru dalam rangka pendidikan kader. Pada tahun 1975, diadakan Seminar Pendidikan Kader GMKI di Salatiga, kemudian hasilnya dilaporkan dalam KKN 1976, yang selanjutnya menganjurkan agar dibentuk badan yang permanen untuk menagani kaderisasi. 

Hasilnya antara lain:
a) Terbentuknya YBD (Yayasan Bina Darma) yang merupakan wujud kerjasama antara GMKI dan UKSW (Universitas Kristen Satya Wacana) Salatiga, setelah melalui rembukan dan konsultasi yang intens, untuk mewujudkan Keputusan KKN 1976.
b) Selanjutnya, dengan dimotori oleh YBD, dilakukanlah lokakarya untuk mencari bentuk-bentuk yang cocok untuk GMKI. Pada Lokakarya Nasional GMKI Tahun 1981, berhasil dirumuskan Pola Dasar Pendidikan Kader GMKI, yang populer dengan nama Pola Dasar  sebagiaman telah dijelaskan sebelumnya.

3) Aspek Konstitusi: satu hal penting yang berhubungan dengan kehidupan konstitusi adalah adanya perubahan AD/ART GMKI pada Kongres XX di Palangkaraya, yang merupakan kelanjutan dari rekomendasi Kongres XIX di Salatiga, terutama yang berhubungan dengan hadirnya UU Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi kemasyarakatan, dimana semua organisasi harus mencantumkan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat, dalam AD/ART. GMKI mematuhi amaat UU ini dengan mengubah bunyi Pasal 2 AD GMKI, yang sebelumnya adalah berdasarkan Alkitab. Ini tidak berarti GMKI telah mengaburkan identitasnya sebagai organisasi yang bersifat gerejawi. Secara taktis, GMKI memindahkan rumusan Pasal 2 AD ke dalam Pembukaan, yang dipandang sebagai sumber inspirasi dan sumber motivasi bagi jiwa dan langgam kerjanya dan sumber rujukan bagi penyusunan batang tubuh AD/ART.

Bagi GMKI, Pancasila bukan barang baru, sebab pada Musyawarah Ketua-ketua Cabang (Musketcab) pada era 1950-an, GMKI telah menetapkan Pancasila sebagai temanya. Pancasila juga telah menjadi sumber inspirasi dan sumber motivasi/rujukan bagi aturan organisasi karena termuat secara jelas dalam Penjelasan Pembukaan/Mukaddimah AD GMKI.

Sebuah AD/ART ideal adalah yang mampu beradaptasi terhadap berbagai perubahan-perubahan yang terjadi baik dari sisi internal maupun eksternal. Jika kita memperhatikan AD/ART GMKI, maka sejak tahun 1986 hingga tahun 2004, sekitar 18 tahun, tidak lagi dilakukan perubahan-perubahan. Muncul pertanyaan-pertanyaan sederhana: 1) Apakah itu pertanda bahwa AD/ART GMKI begitu luwes/fleksibel dan kenyal sehingga mampu beradaptasi dengan situasi apapun?; 2) Apakah kita menganggap begitu sakral AD/ART kita sehingga ia tidak boleh “disentuh?”; 3) Ataukah kita termasuk kategori sivitas organisasi yang tidak peduli pada aturan permainan atau aturan dasar organisasi padahal ia sangat menentukan sepak terjang dan langgam kerja kita?; dan masih apakah-apakah yang lain yang dapat kita rumuskan secara sendiri dan spesifik.

Untuk Eksteren Organisasi, beberapa hal yang perlu dicatat adalah sebagai berikut: 1) GMKI bersama organisasi ekstrauniversiter lainnya (HMI, PMII, PMKRI, dan GMNI) pada tanggal 22 Januari 1972, membentuk Kelompok Cipayung (sesuai keputusan Kongres yang menyambut baik keterlibatan GMKI di Kelompok Cipayung), sebagai forum komunikasi antara organisasi ekstrauniversiter. Pada awalnya, Kelompok ini melaksanakan diskusi yang bertemakan: Indonesia Yang Dicita-citakan. Selama kelompok ini ada, hasil dialog mereka merupakan sumbangan pemikiran yang penting bagi kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat; dan 2) pada tanggal 23 Juli 1973, GMKI turut membidani lahirnya Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), yang merupakan wadah berhimpun bagi seluruh pemuda Indonesia. Ide dasarnya tidak jauh berbeda dengan pembentukan Kelompok Cipayung, yaitu adanya keinginan yang luhur untuk turut memberikan kontribusi pemikiran dalam proses pembangunan nasional dan berusaha mengatasi pengkotak-kotakan dalam dunia pemuda.

Kongres XIV berlangsung di Yogyakarta tahun 1974. Kongres mengajak GMKI agar exodus (keluar) dari ghetto-ghetto (lingkaran/tembok) persekutuan yang sempit dan ikut bersama berjuang bagi perdamaian, keadilan, dan kebenaran. Ini berarti, GMKI tidak hanya berkonsolidasi dan berbenah diri, tetapi yang terutama memberikan kesaksian dengan tindakan nyata bagi kehidupan berbangsa dan bernegara yang pluralistis ini.

Kongres XV berlangsung di Palembang tahun 1976. Perhatian Kongres ditujukan kepada evaluasi ulang menyangkut relevansi Program GMKI, terutama menyangkut Pendidikan Kader dan proses timbal balik antara pendidikan formal dan nonformal. Kongres XVI berlangsung di Ujungpandang tahun 1978 dan Kongres XVII berlangsung di Jakarta tahun 1980.

Selanjutnya, Kongres XVIII berlangsung di Jakarta pada Tahun 1980, Kongres XIX berlangsung di Salatiga pada Tahun 1984; dan Kongres XX berlangsung di Palangkaraya Tahun 1986; Kongres XXI berlangsung di Bandung pada Tahun 1988; Kongres XXII berlangsung di Jayapura pada Tahun 1990; Kongres XXIII berlangsung di Tomohon pada Tahun 1992; Kongres XXIV berlangsung di Pekanbaru pada Tahun 1994; Kongres XXV berlangsung di Ambon pada Tahun 1996; Kongres XXVI berlangsung di Palu pada Tahun 1998; Kongres XXVII berlangsung di Denpasar pada Tahun 2000; Kongres XXVIII berlangsung di Tondano pada Tahun 2002; dimana keputusan yang diambil masih bersifat umum, yakni menyangkut pergumulan GMKI di medan layannya kecuali Kongres XIX dan XX yang akhirnya berhasil mengubah dari DASAR GMKI, yakni Alkitab menjadi ASAS serta Kongres XXIX berlangsung di Pematang Siantar pada Tahun 2004, yang menambahkan pasal tentang Visi dan Misi (Pasal 2 yang sebelumnya tentang Tujuan), dimana ayat 1 merupakan rumusan baru tentang Visi sedangkan ayat 2 tentang Misi yang merupakan rumusan lama atau saduran dari rumusan Tujuan pada AD/ART sebelumnya.


Dari berbagai sumber
Ut Omnes Unum Sint

Girsang





Girsang adalah sebuah marga atau morga pada suku Simalungun yang berasal dari Sumatera Utara,Indonesia. Walaupun sekarang marga girsang dianggap sebagai salah satu marga simalungun, namun banyak menganggap girsang bukan dianggap marga asli dari Marga Simalungun. Yang dianggap marga asli simalugun adalah :Damanik, Purba, Saragih dan Sinaga.

Asal-Usul
Ada beberapa pendapat mengenai asal-usul marga girsang ini.Hal ini dikarenakan referensi atau dokumen yang sedikit serta belum diadakan penyelidikan secara maksimal. Ada pendapat yang mengatakan bahwa girsang berasal dari keturunan Lumbantoruan, referensi ini berasal dari buku " Sejarah & Silsilah, Asal Usul Marga Girsang" karangan Jaludin Purba Girsang BA yang dicetak tahun 1970-an. Penulis mengungkapkan dalam buku tersebut data-data yang diperoleh berdasarkan wawancara kepada para pihak yang dianggap kompeten (serta cek silang antara sumber yang satu dengan sumber yang lainnya) dan kumpulan dokumen-dokumen yang tersedia dari sumber-sumber yang diwawancarai. Dijelaskan, Opung (Op) Girsang pertama dilahirkan di kampung Nagasaribu/ Sigalingging 6 Km dari Kota Siborongborong arah Lintongnihuta, Kabupaten Tapanuli Utara (Bukan Nagasaribu yang ada di kecamatan Silimakuta, Kabupaten Simalungun).Op Girsang (Lumbantoruan) ini karena membunuh seorang abang kerabatnya, terpaksa melarikan diri untuk menyelamatkan diri, dan hidup berpindah-pindah sebelum akhirnya tiba di 'Lehu, Kec.Tigalingga Kabupaten Dairi, provinsiSumatera Utara. Dari Lehu ini kemudian keturunannnya ada yang berpindah ke nagasaribu, silimakuta, kabupaten simalungun dan bertambah banyak disana, dan akhirnya menyebar. Oleh karena itu sampai sekarang, nagasaribu di silimakuta, kabupaten simalungun dianggap sebagai kampung halaman marga girsang sementara Lehu dianggap asal nenek moyang marga girsang.

Versi lain ada yang mengatakan bahwa marga girsang adalah berasal sub marga Purba dan tidak ada hubungannya dengan Lumbantoruan. Oleh karena itu girsang dianggap suku simalungun asli juga. Namun tidak sedikit juga yang menolak bahwa girsang bagian dari marga Purba.

Kerajaan Girsang/Silimakuta dan Sejarahnya
Pengakuan kerajaan Girsang di Silimakuta tidak terlepas dari sejarah historis suku Simalungun. Suku Simalungun dalam sejarah historis memiliki 3 fase kerajaan yangg pernah berkuasa dan memerintah di Simalungun. Berturut-turut fase itu adalah
1. Fase kerajaan yang dua (harajaon na dua) yakni Kerajaan Nagur (marga Damanik) dan Batanghio (Marga Saragih).
2. Fase Kerajaan berempat (harajaon na opat) yakni Kerajaan Siantar (marga Damanik), Panai (marga Purba Dasuha), Silau (marga Purba Tambak) dan Tanoh Jawa (marga Sinaga).
3. Fase 7 kerajaan (harajaon na pitu) yakni: kerajaan Siantar (Marga Damanik), Panai (marga Purba Dasuha), Silau (marga Purba Tambak), Tanoh Jawa (marga Sinaga), Raya (marga Saragih Garingging), Purba (marga Purba Pakpak) dan Silimakuta (margaGirsang).
Fase ke -3 ini berkaitan dengan kolonial Belanda di simalungun. Tahun 1907,diadakan perjanjian pendek (korte verklaring) yang intinya tunduknya seluruhnya kerajaan kepada kolonial, maka untuk mempermudah urusan administrasi serta mempermudah politik devide et impera, maka status partuanon dari tiga partuanon Dolog Silou itu dinaikkan statusnya menjadi kerajaan. Yakni Silimakuta, Simalungun(Girsang) di Naga aribu, kerajaan Purba (Purba Pak-pak) di Pematang Raya.
Sejarah Kerajaan Silimakuta bermula dari seorang Girsang membantu Tuhan Naga Mariah, Raja Sinaga untuk mengusir musuh Tuhan Naga Mariah dari Siantar. Girsang ini menyuruh penduduk mengumpulkan sebanyak mungkin bermacam- macam duri dan diambilnya cendawan merah, diperasnya dalam air, racunnya diletakkannya pada duri-duri dan diletakkan di sepanjang jalan yang bakal dilalui musuh., sedangkan air yang beracun itu dimasukkannya ke dalam Paya Siantar. Musuh oleh karena itu semuanya mati kena racun.Ia melapor kepada Tuhan Naga Mariah dan berkata, "Nunga mate marsinggalang saribu di dolok i!" (beribu-ribu musuh sudah mati bergelimpangan di gunung itu), sehingga gunung itu dinamakan Dolok Singgalang dan namanya Saribu Dolok. Girsang lalu kawin dengan puteri dari Tuhan Naga Mariah dan karena ahli mencampur racun dinamai Datu Parulas. Setelah Raja Sinaga itu mati maka Datu Parulas ini naik tahta dan mendirikan kampungnya Naga Saribu yang menjadi ibukota kerajaan Silimakuta. Kerajaannya dinamainya Si Lima Kuta karena dalam kerajaannya ada lima kampung yaitu:
1. Rakutbesi
2. Dolok Panribuan
3. Saribu Djandi
4. Mardingding
5. Nagamariah

Sub-Marga Girsang
Marga Girsang terdiri dari 5 sub marga antara lain :
1. Girsang Jabu Bolon
2. Girsang Na Godang
3. Girsang Parhara
4. Girsang Rumah Parik
5. Girsang Bona Gondang

Menurut cerita Bapakku semasa kecil, Girsang ga boleh makan daging Rusa dan cabai putih. Alasannya, berhubungan dengan asal mulanya Girsang itu.
Pada jaman dulu, pada saat masih terjadi perang antar suku, atau dibilang masih kondisi primitiv, seorang pria melarikan diri dari amukan masa dan bersembunyi diantara kerumunan rusa. Pada saat itu masih belum ada pakaian. Pria ini ditemukan dalam kondisi yang menggigil. Dalam bahasa Simalungun, 'Gir-gir'. Itulah asal mula marga Girsang. Karena Rusa dianggap sebagai penyelamat, maka Girsang tidak boleh memakan Rusa. Dan cabai putih merupakan makanan yang tidak boleh dimakan oleh Rusa, maka kami pun tidak boleh makan cabai putih. Tidak tau kebenaran cerita ini, tapi sampai saat ini aku masih patuh sama aturan ini.

Tubu Pisang jonokkon ni Bulu | si Boru Girsang namalo Manganju |

Dari berbagai sumber:
1. Jaludin Purba Girsang BA,Sejarah & Silsilah, Asal Usul Marga Girsang, 1970-an
2.  http://www.facebook.com/groups/11362451386