Kemarin
muncul video yang diterbitkan oleh Tribun News tentang anak SMA di Kota Medan
(kota tempat ku bertumbuh dan menghabiskan masa kecil dan masa remaja ku) yang
terkena razia habis coret-coret setelah selesai UN. Sang anak tersebut yang tidak
secara kebetulan berjenis kelamin perempuan, tidak terima jika nanti kemudian
namanya akan muncul di media dan dengan lugas dan percaya diri dia mengaku anak
dari Arman Depari, seorang perwira tinggi Polri yang sejak 27 Agustus 2014
mengemban amanat sebagai Deputi Bidang Pemberantasan Badan Narkotika Nasional
(BNN). Kemudian pada malam berita itu tersebar muncul pengakuan dari Arman
Depari kalau beliau tidak memiliki anak perempuan.
Ada yang lucu disini, ketakutannya
menjadi kenyataan. Bagaikan mimpi buruk, video itu muncul di berbagai sosial
media yang ada. Dan tentu saja sebagai kebiasaan masyarakat Indonesia yang belum bisa menerima demokrasi karena
belum berbanding lurus dan selaras dengan kecerdasannya, rame-rame membully
sang anak. Belakangan diketahui nama anak tersebut adalah Sonya Sembiring,
seorang model di Kota Medan, sekolah di SMA Methodist I Medan.
Ada yang menarik disini, sebagai
orang yang sudah lama tinggal di Kota Medan, “Anggar Keluarga”, sudah menjadi
hal biasa. Apalagi kalau sedang berhadapan sama Polisi dan Birokrasi di Kota
Medan. Kalau kau ga anggar keluarga,
ga di terge lah di Medan. Di tilang
seenaknya, ngurus dokumen sana-sini diperlambat, bahkan bisa ditolak. Makanya tidak
heran kalau di Medan banyak polisi yang buncit. Kalau kata orang Medan, jalanan
di Medan memang kejam. Masih teringat jelas sempat tersebar video ribut antara
Tentara yang merasa tidak terima saat ditilang oleh Polisi. Pada akhir video
sang polisi tunggang langgang kabur menghindari sang TNI.
Bersama kita sudah sama-sama tau,
ini jaman pencitraan dan menghakimi. Tidak terlepas dari Polisi. Bagaimana saya
muak menonton acara 86 yang disiarkan NET TV, dimana mereka lebih memunculkan
sisi baik Polisi, namun yang kurang baik tidak dimunculkan. Sudah hal biasa
anak SMA habis melaksanakan ujian UN melakukan celebration dengan coret-coret dan jalan sambil konvoi keliling
kota. Mungkin saat ini kita merasa, itu hal yang jelek, merusak moral bangsa,
norak dan tidak memiliki etika. Tapi, berapa banyak dari kita yang juga
melakukan hal yang sama? Saya semasa lulus SMA dulu, juga melakukan hal yang
sama, mengabaikan himbauan orangtua, merasa menjadi orang merdeka, dan merasa
keren sendiri. So, wajarkah jika mereka termasuk dek Sonya ingin merasakan hal
yang sama seperti yang kita rasakan masa akhir SMA lalu?
Ada yang salah disini, ketika Sonya yang
masih muda harus mengalami bully dari banyaknya masyarakat Indonesia yang
semena-mena menghujat dan menyalahkannya. Oh, bagaimana masa depannya, jika
dalam masa mudanya dia sudah menerima hal tersebut? Patutkah hanya dia yang
disalahkan? Apakah ini murni kesalahannya? Apakah peran polisi disini sudah
benar? Ah, aku lelah menanggapinya. Kasian nasib dek Sonya… Semoga kamu tabah
dan kuat dalam menghadapi orang-orang yang sedang menghakimi dan menghujatmu. Memang
itu kesukaan dan kepuasan mereka (pag).