Mauritania,
sebuah negeri dengan lautan pasir menyembunyikan sebuah rahasia: praktek
perbudakan. Di mana langkah pertama menuju kebebasan adalah ketika seorang
budak menyadari bahwa ia diperbudak.
Jika klaim ini terlalu bombastis, anggap saja negara
berpenduduk 3,4 juta orang ini adalah negara terakhir di dunia yang berusaha
menghapuskan praktek perbudakan.
Berdasarkan laporan PBB, pada 1981, sebanyak 10 hingga 20
persen penduduk Mauritania hidup dalam perbudakan. Ironisnya, praktek ini
disinyalir masih ada meskipun tahun 2007 sudah dibuat UU yang memidanakan
perbudakan. Dilansir CNN, hingga saat ini baru ada satu kasus yang ditangani.
Bagi para budak, perbudakan bagai mata rantai penyiksa
fisik dan mental yang tidak bisa dengan mudah diputus. Tengok saja kisah pilu
Moulkheir Mint Yarba, seorang budak yang berhasil melarikan diri.
Moulkheir berkali-kali diperkosa pemiliknya sehingga
melahirkan banyak anak, yang semuanya juga menjadi budak. Dia sendiri tidak
pernah melawan karena menganggap pemiliknya paling tahu apa yang terbaik
baginya. "Saya merasa menjadi binatang yang hidup bersama binatang,"
ujarnya.
Kebebasan itu datang tatkala Moulkheir bertemu dengan
pasangan 'aneh' Boubacar Messaoud dan Abdel Nasser Ould Ethmane. Disebut
'aneh', karena Boubacar adalah mantan budak, sementara Abdel adalah pemilik
budak yang kini beralih menjadi pembebas budak.
Terlahir sebagai pria kaya, Abdel bisa mendapatkan budak
dengan mudah, bahkan sebagai kado. Nuraninya justru terketuk setelah ia
memiliki banyak budak. Adalah sebaris kalimat 'Manusia terlahir bebas dan
setara dalam hak' dari komik favoritnya, Asterix, yang menyadarkannya.
Hati kecil Abdel mengatakan ada yang salah, entah itu komik
favoritnya ataupun tradisi perbudakan yang berlaku di Mauritania. Belakangan
dia baru menyadari, perbudakan adalah hal yang salah sehingga dia pun segera
membebaskan budaknya. "Namun di luar dugaan, mereka malah tidak ingin
dibebaskan, atau tidak mengerti apa arti kebebasan," kenangnya.
Abdel lalu bertemu Boubacar, mantan budak yang berhasil
melarikan diri dan 'bebas' dan dapat mengenyam pendidikan yang layak. Keduanya
lantas berkolaborasi mendirikan SOS Slaves untuk memerangi praktek perbudakan
di Mauritania.
Perjuangan SOS Slaves memang tidak mudah. Namun diakui,
keberanian para mantan budak untuk menuturkan kisah mereka, merupakan sebuah
kemenangan tersendiri karena bisa menjadi awal yang bagus menuju kemerdekaan
sebagai manusia.
Ada beberapa hal yang turut menjadi faktor masih suburnya
perbudakan di Mauritania hingga 2012 ini. Di antaranya, rasisme bahwa orang
kulit terang lebih tinggi derajatnya, kemiskinan, kurangnya komitmen
pemerintah, serta kurangnya edukasi karena perbudakan cenderung dianggap
sebagai sesuatu yang lazim.
SUMBER
http://dunia.vivanews.com/news/read/298008-kisah-budak-di-mauritania--dianggap-binatang