2.1.Parameter Fisika
2.1.1. Pasang surut
Pasang surut adalah fluktuasi muka air
laut sebagai fungsi waktu karena adanya gaya tarik benda-benda di langit,
terutama matahari dan bulan terhadap massa air laut di bumi (Triatmodjo, 1999).
Seperti
diketahui besarnya gaya tarik bulan untuk setiap partikel massa berbeda-beda
besarnya, sedangkan gaya sentrifugal yang dialaminya akan sama besar, yakni sama
dengan gaya tarik bulan di pusat bumi. Gaya itulah yang menghasilkan pasang
surut, yang kemudian disebut gaya pembangkit pasang surut (tide generating forces). Gaya tarik bulan akan semakin besar untuk
tempat-tempat di bumi yang semakin dekat dengan kedudukan bulan.
2.1.1.1.
Tipe pasang surut
Pasang surut
diberbagai tempat dapat mudah terlihat perbedaan karakter dasar pasang surut
perbedaan baik dalam waktu, tunggang air dan jenis pasang surut yang di
sebabkan pengaruh topografi, dari perbedaan tersebut menyebabkan perbedaan tipe
pasang surut di setiap daerah (Dishidros,
1991).
Menurut Triatmodjo (1999), Secara umum pasang surut
diberbagai daerah di Indonesia dapat dibedakan dalam empat tipe, yaitu:
1. Pasang surut harian ganda (semidiurnal tide)
Dalam satu
hari terjadi dua kali air pasang dan dua kali air surut dengan tinggi yang
hampir sama dan pasang surut terjadi secara berurutan dan teratur. Periode pasang
surut rata-rata adalah 12 jam 24 menit. Pasang surut jenis ini terdapat di
selat Malaka sampai laut Andaman (Gambar 1.A).
2.
Pasang surut harian tunggal (diurnal
tide)
Dalam satu hari terjadi satu kali air pasang dan satu kali air surut.
Periode pasang surut adalah 24 jam 50 menit. Pasang surut tipe ini banyak
terdapat di perairan selat Karimata (Gambar 1.D).
3.
Pasang surut campuran condong ke harian ganda (mixed tide prevailing semi-diurnal )
Dalam satu hari terjadi dua kali air pasang dan dua kali air surut, tetapi
tinggi dan periodenya berbeda. Pasang surut jenis ini banyak terdapat di perairan
Indonesia Timur (Gambar 1.B).
4.
Pasang surut campuran condong ke harian tunggal (mixed tide prevailing diurnal)
Pada tipe ini dalam satu hari terjadi satu kali air pasang dan satu kali
air surut, tetapi kadang-kadang untuk sementara waktu terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dengan tinggi dan
periode yang sangat berbeda. Pasang surut jenis ini terdapat di selat
Kalimantan dan pantai utara Jawa Barat.
2.1.1.2.
Komponen pasang surut
Menurut Bearman (1989) ada lebih dari
390 komponen pasang surut yang telah
didentifikasikan dan ada sembilan komponen utama seperti yang ditunjukkan dalam
Tabel 1.
No.
|
Nama komponen pasang
|
Simbol
|
Periode
(jam matahari)
|
Koefisien
ratio
(M =
100)
|
1
|
Principal
Lunar
|
M2
|
12,42
|
100
|
2
|
Principal
Solar
|
S2
|
12,00
|
46,6
|
3
|
Larger
Lunar Eliptic
|
N2
|
12,66
|
19,2
|
4
|
Luni–Solar
Semidiurnal
|
K2
|
11,97
|
12,7
|
5
|
Luni –
Solar Diurnal
|
K1
|
23,93
|
58,4
|
6
|
Principal
Lunar Diurnal
|
O1
|
25,82
|
41,5
|
7
|
Principal
Solar Diurnal
|
P1
|
24,07
|
19,4
|
8
|
Lunar
Fortnighthly
|
M1
|
327,86
|
17,2
|
9
|
Lunar
Monthly
|
Mm
|
661,30
|
9,1
|
|
2.1.1.3.
Beberapa
istilah pasang surut
Berikut ini beberapa
istilah pasang surut yang dikemukakan oleh Ali et
al., (1994):
1.
Mean Sea Level (MSL) atau duduk tengah
adalah muka laut rata-rata pada suatu periode pengamatan yang panjang,
sebaiknya selama 18, 6 tahun.
2.
Mean Tide Level (MTL) adalah rata-rata
antara air tinggi dan air rendah pada suatu periode waktu.
3.
Mean High Water (MHW) adalah tinggi air
rata-rata pada semua pasang tinggi.
4.
Mean Low Water (MLW) adalah tinggi air
rata-rata pada semua surut rendah.
5.
Mean Higher High Water (MHHW) adalah tinggi
rata-rata pasang tertinggi dari dua air tinggi harian pada suatu periode waktu
yang panjang. Jika hanya satu air tinggi terjadi pada satu hari, maka air
tersebut diambil sebagai air tinggi tertinggi.
6.
Mean Lower High Water (MLHW) adalah tinggi air
rata-rata air terendah dari dua air tinggi harian pada suatu periode waktu yang
panjang. Hal ini tidak akan terjadi untuk pasang harian (diurnal).
7.
Mean Higher Low Water (MHLW) adalah tinggi
rata-rata air tertinggi dari dua air rendah harian pada suatu periode waktu
yang panjang. Hal ini tidak akan terdapat pada pasang harian (diurnal).
8.
Mean Lower Low Water (MLLW) adalah tinggi air
rata-rata air terendah dari dua air rendah harian pada suatu waktu yang
panjang. Jika hanya satu air rendah yang terjadi pada satu hari, maka harga air
rendah tersebut diambil sebagai air rendah terendah.
9.
Mean High Water Springs (MHWS) adalah tinggi
rata-rata dari dua air tinggi berturut-turut selama periode pasang purnama,
yaitu jika tunggang (range) pasang
tersebut tinggi.
10. Mean Low Water Springs (MLWS) adalah tinggi
rata-rata yang diperoleh dari dua air rendah berturut-turut selama periode
pasang purnama.
11. Mean High Water Neaps (MHWN) adalah tinggi
rata-rata dari dua air tinggi berturut-turut selama periode pasang perbani (neap tides), yaitu jika tunggang (range) pasang paling kecil.
12. Highest High Water Level (HHWL), adalah air
tertinggi pada saat pasang surut purnama atau bulan mati.
13. Lowest Low Water Level (LLWL), adalah air
terendah pada saat pasang surut purnama atau bulan mati.
2.1.2. Arus
Arus laut adalah
fenomena perpindahannya massa air dari satu tempat ke tempat lainnya. Arus ini
sangat berperan aktif dalam mempengaruhi proses-proses biologi, kimia dan
fisika dalam sprektum ruang dan waktu yang terjadi di laut. Arus dikelompokkan
berdasarkan gaya pembangkitnya: arus-arus yang dibangkitkan oleh angin (spiral ekman), upwelling di pantai, arus pantai musiman, sirkulasi arus global
samudera, arus densitas, arus pasang surut, dan arus yang dibangkitkan oleh
gelombang atau arus yang menyusur pantai (longshore
current) (Latif, 2002).
Faktor-faktor yang
berperan dalam pembentukan arus laut (Sari, Nining. N, 2002):
1. Angin permukaan
2. Gradien horisontal dari densitas
3. Pasang surut
4. Gelombang pecah yang membentuk sudut tertentu
dengan garis pantai
5. Naiknya densitas air dipermukaan akibat proses
pendinginan dan penambahan salinitas akibat pembentukan es
Faktor-faktor
yang mempengaruhi arus laut (Sari, Nining. N, 2002):
1. Gesekan angin
2. Viskositas dan densitas air laut
3. Percepatan gravitasi
4. Gesekan dasar perairan (bentuk dan materi dasar
perairan)
5. Geometri pantai
6. Rotasi (perputaran bumi)
2.1.2.1.
Arus Di Dekat
Pantai
Menurut Dahuri (2003), Gelombang yang
datang menuju pantai dapat menimbulkan arus pantai yang berpengaruh terhadap
proses abrasi di pantai. Sedangkan Triatmodjo (1999), menyatakan bahwa
gelombang yang menjalar menuju pantai membawa massa air dan momentum dalam arah
penjalaran gelombang. Transpor massa dan memontum tersebut menimbulkan arus di
daerah dekat pantai. Di beberapa daerah yang
dilintasinya, perilaku gelombang dan arus yang ditimbulkannya berbeda.
Selanjutnya Triatmodjo (1999),
menyatakan bahwa daerah pantai yang menjadi
lintasan gelombang di pantai adalah offshore zone, surf zone dan swash
zone. Di daerah lepas pantai (offshore zone), yaitu daerah yang terbentang dari lokasi gelombang pecah ke
arah laut, gelombang menimbulkan gerak orbit partikel air. Orbit lintasan
partikel tidak tertutup sehingga menimbulkan pengangkutan massa air.
Pengangkutan massa tersebut dapat disertai dengan terangkatnya sedimen dasar
dalam arah menuju pantai (onshore)
dan meninggalkan pantai (offshore).
Di surf zone, yaitu
daerah antara gelombang pecah dan garis pantai, ditandai dengan gelombang pecah
dan penjalaran gelombang setelah pecah ke arah pantai. Gelombang pecah
menimbulkan arus dan turbelensi yang sangat besar yang dapat menggerakkan
sedimen dasar. Setelah gelombang pecah melintasi surf zone menuju
pantai. Di swash zone, gelombang yang sampai di garis pantai menyebabkan
massa air bergerak ke atas dan kemudian turun kembali ke permukaan pantai dan
menyebabkan terjadinya arus. Gerak massa air disertai dengan terangkutnya
sedimen. Arus yang terjadi di ketiga daerah tersebut sangat bergantung pada
arah datangnya gelombang.
Apabila garis
puncak gelombang sejajar dengan garis pantai (arah datang sudut gelombang pecah
tegak lurus garis pantai atau0°), maka akan terjadi arus dominan di pantai berupa
sirkulasi sel dengan rip current. Namun apabila gelombang pecah
membentuk sudut terhadap garis pantai (>0°), akan menimbulkan arus sejajar pantai di sepanjang
pantai (longshore current).
2.1.2.2.
Arus Pasang surut
Arus yang disebabkan oleh pasang surut
dipengaruhi oleh dasar perairan. Arus pasang surut yang kuat ditemukan di dekat
permukaan dan akan menurun kecepatannya semakin mendekati dasar perairan. Hal
ini disebabkan adanya gesekan dasar (bottom
friction).
Sedangkan di wilayah perairan yang sempit, seperti estuari, arus pasut
hanya bergerak dalam dua arah, yaitu arus pasut (flood current) yang bergerak masuk estuari dan arus surut (ebb current) yang bergerak dengan arah
keluar estuari (Sierra and
Sanchez-Archilla, 2002). Pada waktu pasang tertinggi (high water) dan surut terendah (low
water), terjadi titik balik (slack
water) dalam tempo sesaat, dan massa air tidak bergerak atau tidak ada
arus.
2.1.3.
Suhu permukaan
Levinton (1982) dalam Hutagalung (1988) menyatakan organisme perairan termasuk
fitoplankton bersifat poikilometrik yaitu tidak dapat mengatur suhu tubuhnya.
Selama hidupnya suhu tubuh organisme perairan sangat tergantung pada suhu
perairan tempat hidupnya. Oleh karena itu adanya perubahan suhu air akan
membawa dampak yang cukup berpengaruh bagi fitoplankton. Eppley (1972)
menyatakan bahwa pertumbuhan dan fotosintesis fitoplankton yang optimum terjadi
pada suhu lingkungan yang sesuai dengan suhu tolerannya, dimana laju
pertumbuhan meningkat bila suhu air meningkat sesuai dengan suhu tolerannya.
Jika suhu lingkungan melewati daya adaptasi organisme maka akan terjadi
penurunan produktivitas dengan cepat. Dengan demikian, kandungan nitrat dan
fosfat akan meningkat jika suhu perairan mendukung pertumbuhan organisme
fitoplankton.
Suhu dapat mempengaruhi fotosintesa
di laut baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh secara langsung
yakni suhu berperan untuk mengontrol reaksi kimia enzimatik dalam proses
fotosintesa. Tinggi suhu dapat menaikkan laju maksimum fotosintesa (Pmax),
sedangkan pengaruh secara tidak langsung yakni dalam merubah struktur hidrologi
kolom perairan yang dapat mempengaruhi distribusi fitoplankton (Tomascik et
al., 1997 b). Secara umum, laju fotosintesa fitoplankton meningkat dengan
meningkatnya suhu perairan, tetapi akan menurun secara drastis setelah mencapai
suatu titik suhu tertentu. Hal ini disebabkan karena setiap spesies
fitoplankton selalu berdaptasi terhadap suatu kisaran suhu tertentu.
2.1.4.
Kecerahan
Gambaran kualitatif tentang
kekeruhan air dapat diketahui dengan pengukuran kecerahan. Kecerahan adalah
ukuran transparansi perairan yang diamati secara visual dengan menggunakan Secchi disk. Nilai kecerahan dipengaruhi
oleh keadaan cuaca, warna perairan, waktu pengukuran, kekeruhan, padatan
tersuspensi dan ketelitian orang yang melakukan pengukuran (Effendi, 2003).
Perairan dengan kecerahan yang
rendah akan mengurangi penetrasi cahaya ke dalam kolom air, sehingga membatasi
proses fotosintesis (Samawi, 2000). Selanjutnya dapat mempengaruhi
produktivitas perairan yang akan semakin berkurang seiring dengan rendahnya
kecerahan yang disebabkan oleh partikel-partikel tersuspensi.
2.1.5.
Salinitas
Salinitas secara kasar adalah jumlah
gram materi terlarut per kilogram air laut. Ini adalah definisi aslinya, satu
saat salinitas ditentukan dengan menguapkan air dan menimbang sisanya. Menurut
Pickard (1963), material terlarut dalam air laut mempengaruhi densitasnya.
Karena itu, sangat penting mengukur salinitas.
Salinitas merupakan salah satu
parameter perairan yang berpengaruh pada fitoplankton. Variasi salinitas
mempengaruhi laju fotosintesis, terutama di daerah estuari, khususnya pada
fitoplankton yang hanya bisa bertahan pada batas-batas salinitas yang kecil (Kaswadji
et al., 1993).
Chua (2006) dalam Nontji (1984)
mengatakan di perairan pantai peranan salinitas mungkin lebih menentukan
terjadinya suksesi jenis terhadap produktivitas secara keseluruhan. Salinitas
dan suhu menentukan densitas perairan, dimana semakin dalam perairan suhunya
semakin rendah dan salinitas semakin meningkat, sehingga rapat air juga
meningkat yang selanjutnya mempengaruhi laju pertumbuhan fitoplankton dalam
proses fotosintesis.
Jumlah garam di laut dunia tidak
berubah kecuali pada skala waktu geologi yang panjang. Bagaimanapun salinitas
tidak berubah dengan adanya input air tawar dari hujan dan runoff, dan
hilangnya air tawar melalui penguapan.
2.2.Parameter kimia
2.2.1.
Nilai pH
Derajat keasaman (pH) mempunyai
pengaruh terhadap kehidupan tumbuhan dan hewan air sehingga sering dipergunakan
sebagai petunjuk untuk menyatakan baik buruknya suatu perairan. Menurut Pescod
(1973), pH merupakan salah satu parameter yang dapat menentukan produktivitas suatu
peraian. Sementara itu pH yang ideal untuk kehidupan fitoplankton dalam
perairan adalah 6,5 – 8,5 (Romimohtarto, 1991).
Air normal yang memenuhi
syarat untuk untuk suatu kehidupan mempunyai pH berkisar antara 6,5-7,5. Menurut Wardhana (2001), air dapat bersifat asam
atau basa, tergantung pada besar kecilnya pH air atau besarnya konsentrasi ion
Hidrogen di dalam air. Derajat keasaman atau pH merupakan gambaran jumlah atau
lebih tepatnya akatifitas ion hidrogen dalam perairan. Secara umum nilai pH
menggambarkan seberapa asam atau basa suatu perairan. Nilai pH = 7 dikatakan
netral, >7 adalah basa, dan <7 7-9="" 8="" adalah="" air="" antara="" asam.="" bagi="" laut="" menurut="" nilai="" o:p="" payau="" perairan="" ph="" sementara="" suatu="" widigdo="">7>
2.3.Unsur Zat Hara
Sebagaimana diketahui zat hara fosfat dan nitrat
merupakan salah satu zat hara yang dibutuhkan dan mempunyai pengaruh terhadap
pertumbuhan dan perkembangan hidup organisme di laut. Fitoplankton merupakan
salah satu parameter biologi yang erat hubungannya dengan zat hara fosfat dan
nitrat. Tinggi rendahnya kelimpahan fitoplankton disuatu perairan tergantung
kepada kandungan zat hara di perairan tersebut antara lain zat hara fosfat dan
nitrat (Nybakken, 1982). Sama halnya seperti zat hara lainnya, kandungan fosfat
dan nitrat disuatu perairan, secara alami terdapat sesuai kebutuhan organisme
yang hidup di perairan tersebut.
Kandungan fosfat dan nitrat di suatu
daerah estuari selain berasal dari perairan itu sendiri juga tergantung kepada
keadaan sekelilingnya antara lain, sumbangan dari daratan melalui sungai yang
bermuara keperairan tersebut, juga tergantung kepada hutan mangrove yang
serasahnya membusuk, karena ada bakteri, terurai menjadi zat hara fosfat dan
nitrat (Wattayakorn, 1988).
Zat hara fosfat, nitrat dan silikat
serta zat hara lainnya merupakan zat-zat yang diperlukan dan mempunyai pengaruh
terhadap proses pertumbuhan dan perkembangan hidup organisme di laut.
Algae/flora laut sangat membutuhkan zat hara tersebut dalam jumlah besar,
terutama zat hara fosfat, nitrat dan silikat (Lund, 1950).
2.3.1. Nitrat
Nutrien
merupakan faktor penting dalam proses produksi fitoplankton dalam menghasilkan
unsur hara. Nutrien ini ada yang dibutuhkan dalam jumlah yang banyak ada pula
yang sedikit. Odum (1971) membagi nutrien yang dibutuhkan oleh tumbuhan menjadi
makro dan mikro nutrien. Makronutrien terdiri dari unsur O, C, N, H, P, S, K,
Mg, dan Ca, sedangkan yang masuk dalam kelompok mikronutrien adalah Fe, Mn, Cu,
Zn, B, Si, Mo, Cl, V, Co, dan Na. Selain itu, Mann (1982) menyatakan bahwa
pertumbuhan dan produksi fitoplankton sangat dipengaruhi oleh ketersediaan
nutrien.
Nutrien
hanya bisa dimanfaatkanpada zona fotik namun beberapa faktor fisik tertentu
menghambat pemanfaatan zat hara ini. Suatu komponen lain diperlakukan agar
sumber nutrien yang terdapat jauh dibawah permukaan dapat dimanfaatkan, yaitu
mekanisme yang mengakibatkan percampuran air oleh angin (turbulensi) dan dengan
demikian mengangkut air yang kaya nutrien ke arah zona eufotik.
Dilaut
tropik posisi matahari baik dan dengan demikian kondisi cahaya sebenarnya
optimal bagi tingkat produktivitas tinggi. Matahari juga dapat menyebabkan
stratifikasi termal yang mencegah terjadinya pencampuran vertikal dan
pengangkutan nutrien ke lapisan diatasnya sehingga tingkat produktivitas laut
tropik rendah namun konstan sepanjang tahun.
Nitrogen
yang terdapat dilaut terdiri dari beberapa bentuk, antara lain nitrat, amoniak
dan nitrit. Senyawa nitrogen ini sangat dipengaruhi kandungan oksigen bebas
dalam air. Pada saat kadar oksigen rendah, nitrogen bergeser ke arah amonia
sedangkan kadar oksigen tinggi nitrogen bergeser ke arah nitrat. Distribusi vertikal
nitrat di laut menunjukkan nilai yang semakin tinggi dengan bertambahnya
kedalaman. Distribusi horizontal nitrat menunjukkan nilai yang semakin tinggi
ke arah pantai. Konsentrasi nitrat pada lapisan eufotik ditentukan oleh
transfer advektif dari nitrat ke lapisan permukaan, oksidasi amonia oleh
mikroba dan pemanfaatan oleh produsen primer (Hutagalung dan Rozak, 1997).
Senyawa
nitrat umumnya berada dalam kondisi terlarut sebagai hasil metabolisme
organisme laut dan hasil pembusukan. Bentuk nitrat yang berupa molekul-molekul
protein terdapat pada organisme mati kemudian diuraikan menjadi bahan organik
oleh bakteri pengurai. Nitrat merupakan salah satu nutrien di laut yang
digunakan sebagai penyusun jaringan lunak plankton dan pembentukan protoplasma.
Menurut Milero dan Sohn (1992), proses biologi dan fisika di laut mempengaruhi
keberadaan nitrat di laut. Nitrat merupakan produk peralihan amonia dan nitrat
(nitrifikasi) serta nitrat dan nitrogen (denitrifikasi). Effendi dan Susilo
(1998) menyatakan bahwa konsentrasi nitrit di perairan biasanya berjumlah
sedikit, karena nitrit tidak stabil dan langsung diasimilasi oleh tumbuhan,
dengan demikian keberadaannya menggambarkan berlangsungnya proses biologi dan
perombakan bahan organik dengan kadar oksigen terlarut sangat rendah.
2.3.1.1. Nitrat Dalam Perairan
Nitrat di alam didapatkan dari hasil siklus nitrogen,
sehingga dalam pembahasan tentang nitrat tidak terlepas dari unsur nitrogen.
Nitrogen di suatu perairan memiliki beberapa bentuk, seperti dalam bentuk organik,
anorganik, terlarut dan partikulit. Bentuk organik menurut Koesbiono (1980)
dapat berasal dari hasil metabolisme organisme bahari dan hasil proses
pembusukan, sedangkan yang berbentuk zarah (particulate) dari reruntuhan
sedimen, binatang dan tumbuhan laut. Adapun nitrogen anorganik dalam air laut
terdapat sebagai ion nitrat, ion nitrit dan amonia.
Nitrogen yang
terdapat di laut selain berasal dari udara dan laut itu
sendiri, juga berasal dari limbah domestik dan industri, hujan serta dari
bahan-bahan organik yang dialirkan oleh sungai (Susana, 1987). Sementara
Sidjabat (1978) menyatakan, bahwa senyawa-senyawa
nitrogen dalam air laut terdapat dalam bentuk gas nitrogen
terlarut dan nitrogen yang terikat pada senyawa-senyawa organik maupun nonorganik.
Tabel 2.
Tingkat Kesuburan Perairan
Berdasarkan Kandungan Nitrat dan tingkat kesuburan ( Wasfi, 2000 dalam Malaha, 2004 )
Kandunga Nitrat (mg/l)
|
Tingkatan
|
0,0 – 1,0
|
Rendah
|
1,0 - 5,0
|
Sedang
|
5,0 –
50,0
|
Tinggi
|
2.3.1.2. Siklus Nitrogen
Menurut Millero dan Sohn (1992), keberadaan nitrat di
lapisan permukaan laut juga diatur oleh proses biologi dan fisika. Pemanfaatan
nitrat oleh fitoplankton terjadi selama berlangsung proses fotosintesis dan
tergantung pada intesitas sinar matahari. Proses regenerasi NO3-
sebagian oleh bakteri pengoksidasi dari nitrogen organik, yang kemudian
melepaskan NH4+ selanjutnya NH4+
akan mengalami oksidasi menjadi NO3-.
Pada siklus nitrogen (Gambar 3) terdapat dua bagian
(Pescod, 1973), yaitu:
a.
Pemanfaatan
nitrat oleh fitoplankton melalui proses fotosintesis yang menghasilkan
asam-asam amino.
b.
Proses regenerasi. Proses regenerasi terbagi menjadi dua, yaitu perubahan dari nitrogen organik yang merupakan produk awal menjadi nitrat oleh bakteri yang merupakan produk akhir serta dekomposisi organik nitrogen menjadi amonium melalui penguraian detritus dan hasil ekskresi
Proses regenerasi. Proses regenerasi terbagi menjadi dua, yaitu perubahan dari nitrogen organik yang merupakan produk awal menjadi nitrat oleh bakteri yang merupakan produk akhir serta dekomposisi organik nitrogen menjadi amonium melalui penguraian detritus dan hasil ekskresi
Nitrifikasi merupakan proses di mana
nitrit mengalami oksidasi menjadi nitrat (Teja Imas, 1989). Sementara Jenie
(1993) menyebutkan, bahwa dalam sistem biologi, senyawa nitrogen organik dapat
ditransformasikan menjadi nitrogen amonium dan dioksidasi menjadi nitrit dan
nitrat. Oksidasi amonia menjadi nitrit dan nitrat disebut nitrifikasi dan
berlangsung dalam kondisi aerobik. Konsentrasi nitrat di suatu perairan selain
berasal dari proses nitrifikasi nitrit, juga berasal dari masukan limbah rumah
tangga, limbah pertanian yang berupa sisa pemupukan, limbah peternakan sisa
dari pakan, pengikatan nitrogen bebas dari udara oleh mikroorganisme dan aliran
tanah yang masuk ke laut (Wardoyo, 1981).
2.3.1.3. Distribusi Nitrat
Menurut Hutagalung dan Rozak (1997), distribusi
vertikal nitrat di laut menunjukkan bahwa kadar nitrat semakin tinggi bila
kedalaman laut bertambah, sedangkan distribusi secara horisontal, kadar nitrat
semakin tinggi pada daerah pantai. Konsentrasi nitrat pada lapisan eufotik ditentukan oleh transport advektif dari nitrat ke lapisan
permukaan, oksidasi amonia oleh mikroba dan pemanfaatan oleh produser primer.
Jika penetrasi cahaya matahari ke dalam air cukup, tingkat pemanfaatan nitrat
oleh produsen primer biasanya lebih cepat daripada proses transport nitrat ke
lapisan permukaan. Oleh karena itu, konsentrasi nitrat di hampir semua perairan
pada lapisan pemukaan mendekati nol (Grasshoff et al., 1983)
Variasi musiman kadar nitrat di
perairan pada umumnya terjadi di lapisan air permukaan sebagai aktivitas
hayati. Perubahan-perubahan kadar senyawa nitrogen anorganik ini jelas tampak
di perairan-perairan dangkal sepanjang benua di lintang-lintang menengah dan
tinggi dan di perairan lepas pantai timur Amerika Serikat (Koesbiono, 1980).
Reichelt dan Jones (1994) mendapatkan nilai konsentrasi nitrogen naik secara significant (nyata) pada saat terjadi
pengadukan yang dikarenakan oleh alam (natural) maupun aktifitas manusia
seperti pengerukan (dredging). Akan tetapi menurut muslim dan Jones (2003),
kondisi perairan yang kaya akan nitrogen tidak bisa dimanfaatkan oleh
fitoplankton untuk melakukan fotosintesis, sehingga Koesbiono (1989)
menyimpulkan fitoplankton akan cepat menghabiskan senyawa-senyawa nitrogen
anorganik yang terdapat di mintakat eufotik
pada saat lingkungannya baik. Sedangkan Muslim dan Jones (2003), menyimpulkan
pemanfaatan nutrien secara besar-besaran saat suatu perairan dalam kondisi yang
didahului dengan adanya pengadukan yang tinggi.
Nitrat di laut yang diperoleh dari
beberapa sumber seperti dari erosi tanah, limpasan dari daratan termasuk pupuk
dan limbah (Chaster, 1990) konsentrasinya sangat fluktuatif karena dipengaruhi
oleh beberapa faktor (Samara et al,
2010) di muara dari hasil penelitiannya di Jaguaribe, São
Paulo, Brazil nilai konsentrasinya 0,30 - 4,40 μM (2007) dan 0,04 - 5,08 μM
(2008). Konsentrasi tertinggi terdapat pada lokasi yang dekat dengan tambak dan
dekat dengan tempat pembuangan limbah rumah tangga. Sedangkan konsentrasi
nitrat di central Great Barrier Reef Australia tepatnya di teluk Cleveland juga
memperlihatkan konsentrasi yang besar di muara, konsentrasi minimum <0 2003="" 3="" agustus="" april="" bulan="" dan="" hingga="" jones="" juli="" juni="" konsentrasi="" maksimum="" o:p="" pada="" uslim="">0>
2.3.2. Ortofosfat
Fosfor merupakan salah satu bahan
kimia yang sangat penting bagi mahluk hidup. Fosfor terdapat di alam dalam dua
bentuk yaitu senyawa fosfat organik dan senyawa fosfat anorganik. Senyawa
fosfat organik terdapat pada tumbuhan dan hewan, sedangkan senyawa fosfat
anorganik terdapat pada air dan tanah dimana fosfat ini terlarut dia air tanah
maupun air laut yang terkikis dan mengendap di sedimen. Fosfor juga merupakan faktor pembatas. Perbandingan fosfor dengan
unsur lain dalam ekosistem air lebih kecil daripada dalam tubuh organisme hidup
( Sastrawijaya, 1991).
Fosfat terdapat dalam jumlah yang
signifikan pada influen pengolahan
air buangan domestik. Komposisi dari input fosfat Industri 7,3 %, Derivasi
deterjen 40 %, Buangan manusia 44 %, Pembersih rumah 6,7 %. Berdasarkan
berbagai penelitian yang telah dilakukan terhadap danau besar dan kecil, di
antara nutrient yang berperan penting bagi tanaman (karbon, nitrogen, dan fosfor)
ternyata fosfor merupakan elemen kunci dalam proses eutrofikasi. Suatu perairan
dikatakan eutrofik jika konsentrasi total fosfor berada dalam rentang 35-100
µg/L. (Dojlido dan Best, 1993).
Fosfat
terdapat dalam air alam atau air limbah sebagai senyawa ortofosfat, polifosfat
dan fosfat organis. Setiap senyawa fosfat tersebut terdapat dalam bentuk
terlarut, tersuspensi atau terikat di dalam sel organisme air. Di daerah
pertanian ortofosfat berasal dari bahan pupuk yang masuk ke dalam sungai atau
danau melalui drainase dan aliran air
hujan. Polifosfat dapat memasuki sungai melalui air buangan penduduk dan
industri yang menggunakan bahan detergen yang mengandung fosfat, seperti
industri logam dan sebagainya. Fosfat organis terdapat dalam air buangan
penduduk (tinja) dan sisa makanan. Fosfat organis dapat pula terjadi dari
ortofosfat yang terlarut melalui proses biologis karena baik bakteri maupun
tanaman menyerap fosfat bagi pertumbuhannya ( Alaerts, 1984).
Tabel 3. Kriteria kesuburan perairan berdasarkan kandungan fosfat (Yoshimura dalam Hadianto, 1996)
PO4 (ppm)
|
Kesuburan
Perairan
|
0.000 -
0.020
|
Rendah
|
0.021 - 0.050
|
Cukup
|
0.051 - 0.100
|
Baik
|
0.110 - 0.210
|
Sangat Baik
|
0.210
|
Sangat Baik
Sekali
|
Keberadaan
senyawa fosfat dalam air sangat berpengaruh terhadap keseimbangan ekosistem
perairan. Bila kadar fosfat dalam air rendah (< 0,01 mg P/L), pertumbuhan
ganggang akan terhalang, kedaan ini dinamakan oligotrop. Sebaliknya bila kadar
fosfat dalam air tinggi, pertumbuhan tanaman dan ganggang tidak terbatas lagi
(keadaaan eutrop). Eutrofikasi
didefinisikan sebagai pengayaan (enrichment)
air dengan nutrien atau unsur hara berupa bahan anorganik yang dibutuhkan oleh
tumbuhan dan mengakibatkan terjadinya peningkatan produktivitas primer
perairan. Nutrien yang dimaksud adalah nitrogen dan fosfor., sehingga dapat
mengurangi jumlah oksigen terlarut air. Hal ini tentu sangat berbahaya bagi
kelestrian ekosistem perairan.
Fosfat
terdapat dalam air alam atau air limbah sebagai senyawa ortofosfat, polifosfat
dan fosfat organis. Ortofosfat adalah senyawa monomer seperti H2PO4-,
HPO42-, dan PO43-, sedangkan
polifosfat (disebut juga “condensed
phosphates”) merupakan senyawa polimer seperti (PO3)63-
(heksametafosfat), P3O105- (tripolifasfat) dan
P2O74- (pirofosfat); fosfat organis adalah P
yang terikat dengan senyawa-senyawa organis sehingga tidak berada dalam larutan
secara terlepas. Dalam air alam atau buangan, fosfor P yang terlepas dan
senyawa P selain yang disebutkan diatas hampir tidak ditemui (Santika, 1987).
2.4.Kualitas Perairan Pesisir
Menurut
Boyd (1982), kualitas lingkungan perairan adalah suatu kelayakan lingkungan
perairan yang dapat mendukung kehidupan dan pertumbuhan organisme air yang
nilainya dinyatakan dalam suatu kisaran tertentu. Nilai kisaran parameter yang
terukur dari lingkungan perairan pantai secara langsung dipengaruhi oleh proses
hidrodinamika suatu perairan, seperti pasang surut, gerakan ombak, pengenceran
oleh aliran air tawar dan sebagainya.
Meningkatnya penggunaan perairan sebagai sarana
berbagai macam kegiatan masyarakat dapat menyebabkan perubahan pada
faktor-faktor tersebut. Keberadaan dan aktivitas fitoplankton berhubungan
dengan lingkungan perairan sekitarnya. Kondisi lingkungan yang paling besar
pengaruhnya terhadap fitoplankton diantaranya adalah cahaya dan unsur hara
(Madubun, 2008). Kedua faktor tersebut terdistribusi secara tidak merata di
perairan. Hal ini terjadi karena adanya masukan berbagai zat buangan dari darat
dan sifat hidromorfologi perairan sehingga berdampak kandungan nitrat dan pada
akhirnya berdampak pada perairan tersebut.